Archives

gravatar

MENGALAH BUKAN BERARTI KALAH

Sikap mengalah memang bukanlah sikap yang populer untuk kehidupan kita sekarang ini. Justru orang yang mengalah seringkali menjadi korban pihak lain, antara lain diinjak-injak haknya, dizholimi, dipojokkan, sehingga malah menjadi orang yang dirugikan, hal demikian akhirnya membuat kita cenderung mengembangkan sikap yang berlawanan, yaitu sikap tidak mau mengalah.
Jika sikap tak mau mengalah ini diterapkan pada hal-hal yang tepat, tidak apa-apa.
Masalahnya sikap ini sering kali kita bawa ke dalam aspek-aspek kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat.


Penyebab sikap tidak mau mengalah , seringkali adalah


1. Merasa diri kita LEBIH TAHU
Kita menganggap kitalah yang mengetahui kebenaran dan mengharapkan pihak yang satunya mengiyakan pandangan kita.
Sifat dasar pengetahuan adalah kesombongan, artinya jika tidak hati-hati maka pengetahuan akan mudah sekali membuat orang yang bersangkutan menjadi sombong dan takabur.
Pengetahuan sejati bukanlah pengetahuan yang bersifat intelektual atau pengetahuan yang bersifat kognitif yakni dalam pikiran kita., melainkan kita dianggap berpengetahuan jika kita mempunyai lebih dari sekedar pengetahuan, yaitu Mengerti dan Bijaksana (dalam mengamalkan pengetahuan tersebut)


2. Merasa diri kita BERHAK (punyak hak atas sesuatu)
Dengan berpendapat bahwa kita merasa yang paling berhak atas semuanya, berhak tidak sakit hati, berhak atas pemahaman kita, dan berhak atas yang lainya, maka akan membuat diri kita berbuat sedemikian rupa membela/memperjuangkan 'hak' kita itu.
Sebenarnya hak-hak yang paling baik adalah melepaskan hak pribadi untuk kemaslahatan/kepentingan bersama.


3. Merasa diri PALING BENAR
Karena kita merasa lebih berpengetahuan, atau katakanlah terjadi peningkatan ego kita yang luar biasa, atau kita memiliki kekuasaan yang lebih, maka kita cenderung merasa diri kita paling benar, sehingga kita sangat sulit untuk bersikap mengalah, meski pun kadang kita tahu sebenarnya kita adalah pihak yang salah


Kita sama-sama mengetahui bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah, bila kedua belah pihak selalu mau menang sendiri, tidak ada yang mau mengalah, maka bisa dipastikan tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik, bahkan selamanya mungkin tidak akan bisa membereskan masalah-masalah tersebut. Padahal dengan mengalah dapat menetralisir segala pertikaian, masalah besar akan menjadi kecil dan masalah kecil akan dinihilkan, suasana tegang akan berubah menjadi tenang damai.


Mengalah juga menunjukkan kelapangan dada/hati seseorang, juga memperlihatkan pandangan orang itu tidak sama dengan orang-orang pada umumnya. Juga menandakan bahwa orang tersebut berjiwa matang.


Kita sering mengalami perbedaan pendapat atau berbeda keinginan dengan orang lain dalam hubungan interaksi sosial kita sebagai manusia, perbedaan pendapat atau keinginan tidak akan terjembatani hanya dengan perdebatan-perdebatan, apalagi jika dengan diwarnai saling menyalahkan dan pemaksaan kehendak. Sikap saling menyalahkan dan pemaksaan kehendak hanya akan mengakibatkan sakit hati pada kedua belah pihak.


Jalan keluar atau solusi yang rasional dan manusiawi dari konflik perbedaan pendapat atau keinginan justru terletak pada sikap "mengalah dalam pengertian yang benar". Artinya, tidak memaksakan kehendak atau kesukaan diri sendiri, tetapi membiarkan diri mengikuti kehendak orang lain, demi terjadinya perubahan-perubahan rasional dan manusiawi (perbaikan-perbaikan), baik dalam diri sendiri maupun diri orang lain. Langkah ini memungkinkan terjembataninya perbedaan-perbedaan di antara mereka yang berbeda.


Perbuatan mengalah, walaupun kadang menyesakkan dada, tetapi lebih banyak membuahkan kebaikan ketimbang sikap bersikukuh menganggap diri sendiri paling benar.
Mengalah juga merupakan pilihan sikap yang jauh lebih dewasa dan bijaksana,
merendahkan hati dan mengalah mampu menepis keegoisan dan rasa direndahkan
dan mampu meningkatkan harga diri , tak jarang sikap mengalah walau tak kalah ini merupakan jawaban dari rentetan kegalauan dan gejolak hati yang ingin selalu dimenangkan,

Cobalah berbicara sejenak dengan hati nurani. apakah sedemikian ruginya jika mengalah?
tentu saja tidak, jika kita berpikir bahwa hasilnya adalah sebuah perdamaian dan penyelesaian yang adil dan bijaksana dan bisa diterima semua pihak.


Pernah dengar kata pepatah bijak "mengalah bukan berarti kalah".
Sifat mengalah dikatakan akan membawa berkah.
Setidaknya, menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan.


"Wani ngalah luhur wekasane"
(Barangsiapa berani mengalah, maka pada akhirnya ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan)

gravatar

Adobe Photoshop Portable versi CS4

Adobe photoshop merupakan aplikasi editing foto yang banyak di minati oleh banyak orang. Karena selain hasil editan dengan menggunakan adobe photoshop CS4 bagus juga mudah di gunakan. Banyak orang yang sudah membuktikan. ingin adobe photoshop portable CS4 gratis? gak perlu beli ampe jutaan rupiah? klik aja DOWNLOAD adobe photoshop portable CS4 ...

gravatar

Banjir dan Daya Dukung Ekologis

Bencana banjir kali ini menggenangi sedikitnya 70 persen wilayah Ibu Kota. Akibatnya, sebagian besar aktivitas produktif di kawasan yang tergenang itu pun lumpuh. Jaringan telepon dan internet terganggu. Di kawasan yang terendam banjir, sambungan listrik juga padam.

Memasuki usianya yang ke-480, selain banjir tahunan, Jakarta dililit berbagai persoalan pelik. Meski demikian, Jakarta tetap memiliki daya tarik kuat, terkait tingginya peredaran uang. Betapa tidak. Lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia ditanam di Jakarta (MeBath 2001).

Pada saat yang sama, 45 persen investasi dalam negeri juga ditempatkan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Tak heran jumlah penduduknya terus meningkat, dari 435.000 jiwa tahun 1930 menjadi 9,8 juta (1995) dan sekitar 12 juta jiwa saat ini. Diperkirakan tiap tahun ada 250.000 hingga 300.000 orang pindah ke Jakarta.

Daya dukung ekologis

Pada saat yang sama, pertumbuhan pesat ekonomi Jakarta dan sekitarnya memiliki banyak sisi gelap, terutama terkait dengan daya dukung ekologisnya. Banjir, longsor, dan berbagai musibah alam lain merupakan indikasi seriusnya persoalan.

Selain berbagai bentuk bencana itu, Jakarta dan pantai utara (pantura) Jawa terancam punah. Sepuluh tahun lalu, sebuah studi yang dilakukan South Pacific Regional Environment Programme (SPREP) meramalkan, pada pertengahan abad 21, sebagian besar daerah pertanian dan tambak udang pantura Jawa bakal terendam air akibat peningkatan muka laut setinggi 45 cm. Penyebabnya, kenaikan suhu global 2,5 derajat Celsius yang disebabkan peningkatan emisi CO2 200 persen.

Efek rumah kaca itu semakin bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi ozon sebagai perisai Bumi terhadap sinar ultraviolet itu mengakibatkan terjadinya perubahan zona cuaca. Ketika sebagian Afrika mengalami kekeringan, menanjaknya permukaan laut telah “menelan” kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk, seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Banglades, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di Tiongkok. Hal sama kini mulai mengancam pantura Jawa, termasuk Jakarta.

Di Jakarta, 80 persen penduduknya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003).

Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen (Kompas, 3/2/2007).

Masalah transportasi

Masalah pelik lain adalah transportasi. Hal ini antara lain terkait arus kendaraan bolak-balik Botabek-Jakarta. Setiap pagi sekitar 800.000 penghuni Botabek menuju Jakarta, sebelum kembali pada sore dan malam hari. Sebaliknya, sekitar 200.000 orang Jakarta bekerja di Botabek. Arus bolak-balik ini mempertajam frekuensi mobilitas dalam kota, terutama pada saat-saat pergi dan pulang kerja dengan dampak kemacetan yang parah.

Kondisi lalu lintas ini telah membawa persoalan serius bagi perekonomian secara keseluruhan. Tiadanya jaringan kereta bawah tanah atau kereta layang bisa dianggap sebagai penyebab utama parahnya lalu lintas Jabotabek. Busway yang lebih diprioritaskan ketimbang monorel, selain memperparah kemacetan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya, kendaraan pribadi tetap menjadi alternatif, termasuk tingginya jumlah kendaraan roda dua yang merupakan fenomena motorisasi negara-negara berkembang.

Di Jakarta, pertambahan kendaraan bermotor sejak tahun 1990 rata-rata 10 persen per tahun. Sementara persentase kendaraan umum dari tahun ke tahun terus menurun, dari 57 persen (1985) menjadi 50 persen (1995), dan 42 persen (2001) (Dreesbach, 2002).

Meski mempunyai jaringan yang lebih baik dibandingkan luar Jawa, kualitas jalan di Jabotabek, terbilang rendah. Padahal, hanya sekitar 0,25 persen penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 4,7 persen dari mereka hilir-mudik Botabek menggunakan kereta.

Masalah sampah

Masalah berikut adalah sampah dan pencemaran udara. Sampah yang terangkut hanya sekitar 18 persen dari 7.000-an ton sampah per hari yang dihasilkan Jakarta. Sebanyak 40 persen lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi dan sisanya (30 persen) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab banjir.

Pencemaran udara dan air di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, serta kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal peraturan, pertumbuhan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologis. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabotabek. Menjamurnya real estat dan supermal menjadikan Jakarta “hutan beton”.

Berbagai upaya dan skenario nasional perbaikan lingkungan Jakarta, seperti konsentrasi teknologi “bersih” (hi-tech-industry di Jakarta, Environment Act 1982, Spatial Use Management Act 1992 yang diperbarui dengan mengorbankan jalur hijau (2001), dan pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dinilai hanya sebagai kosmetik.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi perusakan lingkungan pun terkesan separuh hati. Ketika Prokasih (Program Kali Bersih), Prodasih (Program Laut Lestari) digencarkan, tanpa banyak diketahui publik. misalnya, DKI Jakarta membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010 yang “membenarkan” penghilangan berbagai jalur hijau kota.

Tanpa terobosan radikal dan bila kita percaya pada siklus lima tahunan, banjir bandang berikutnya akan sepenuhnya menenggelamkan Jakarta. Semua warga diharapkan bangkit. Semoga banjir dan bencana lain yang akhir-akhir ini kian sering terjadi membuka mata hati kita untuk memerangi “kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi”. Idealnya, ekonomi dan ekologi saling mendukung. Terobosan itu ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang lama terlupakan.

IVAN A HADAR Pemerhati Sosial dan Ekonomi; Menetap di Jakarta
Sumber: Kompas, 06 Februari 2007

Banjir Akibat Rusaknya DAS

Oleh Endah Sulistyowati

anjir telah melakukan “kudeta” di ibukota. Akibatnya berbagai aktivitas Jakarta dan sekitarnya menjadi lumpuh total. Pemerintah tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan ketabahan rakyat dalam menghadapi bencana banjir. Bencana banjir selain diakibatkan oleh faktor cuaca yang ekstrem juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai).

Bangsa ini sudah dilanda collective ignorance dan kehilangan kearifan dalam mengelola DAS. Berbagai undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hanya menjadi macan kertas yang tidak pernah dijalankan secara konsisten. Penegakan hukum lingkungan yang antara lain mengenai ketentuan tentang sempadan sungai banyak dilanggar.

Wilayah Jakarta yang dibelah oleh 14 sungai sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan DAS yang konsisten dan berkelanjutan. Rencana untuk membangun megaproyek kanalisasi untuk mencegah banjir belum tentu berhasil membebaskan Jakarta dari sergapan banjir jika masalah sempadan sungai tidak ditanganai secara tuntas. Begitupun, banjir juga tidak bisa ditangani secara parsial di wilayah Jakarta saja, tetapi harus menyangkut sepanjang DAS yang melewati propinsi Jawa Barat dan Banten.

Karena kehancuran ekosistem DAS juga terjadi di daerah hulu. Hampir seluruh DAS yang ada di propinsi Jawa Barat dan Banten dalam kondisi kritis, terutama DAS Citarum, Ciliwung. dan Cisadane. Egoisme sektor kedaerahan dan buruknya koordinasi wilayah menambah parah situasi.

Untuk itulah konsep Megapolitan yang bermaksud memperluas koordinasi teknis dan integrasi kebijakan pembangunan penyangga ibu kota sebaiknya segera diwujudkan dengan titik berat kepada aspek lingkungan hidup. Ketidakberdayaan propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menghentikan laju deforestasi di wilayahnya akan berdampak lebih buruk lagi di waktu mendatang.

Sempadan Sungai

Dibutuhkan tindakan tegas tanpa pandang bulu untuk melindungi dan membenahi zona sempadan sungai. Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.

Kriteria sempadan sungai terdiri dari: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan 50 meter di kiri- kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Sesuai dengan PP No 35 Tahun 1991 tentang Sungai. (b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter. Sesuai dengan PP No 35 Tahun1991.

Selain penegakan hukum yang lemah, kerusakan sempadan sungai juga disebabkan oleh aspek land tenure (penguasaan lahan). Aspek tersebut banyak melanggar Amdal untuk kegiatan pembangunan di daerah lahan basah. Akibat lemahnya penegakan hukum terjadilah kerusakan fungsi ekologis lahan basah yang berdampak erosi genetik dan penurunan potensi.

Ada beberapa hal penting yang perlu diingat sehubungan dengan ekosistem lahan basah. Antara lain, Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Ekosistem lahan basah bersifat terbuka untuk menerima dan meneruskan setiap material (slurry ) yang terbawa sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau bahan beracun maupun energi lainnya, sehingga membahayakan.

Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan hidup setiap ekosistem darat di hulu dan sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya. Kerusakan DAS selama ini kurang ditangani secara serius. Hanya dibenahi ala kadarnya saja, seperti dalam bentuk proyek pengerukan yang menelan dana milyaran rupiah.

Proyek semacam itu kurang efektif untuk menanggulangi bencana banjir atau kekeringan jika tidak disertai dengan reklamasi total jalur sempadan sungai yang disertai dengan gerakan budaya dan terapi psikososial. Banjir merupakan hukum karma akibat lemahnya penegakan hukum lingkungan.

Zonasi Lahan Basah

Padahal, banjir di ibu kota yang sudah menjadi tradisi itu mestinya bisa ditanggulangi secara teknis geologis dan reklamasi lingkungan yang disertai dengan gerakan budaya mengelola DAS secara arif. Namun, secara telanjang rakyat sering disuguhi oleh inkonsistensi pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup.

Saat ini pemerintah boleh dibilang telah gagal menyeimbangkan keberadaan lahan basah untuk tetap terjaga dan tidak dialihkan fungsinya guna mengurangi bencana banjir dan tanah longsor. Zonasi terhadap Kepmeneg Lingkungan Hidup tentang lahan basah seharusnya diterapkan secara konsisten. Zonasi itu diterapkan berdasarkan kekuatan air sungai dan air pasang.

Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Untuk itulah kewajiban pemerintah untuk mendefinisikan secara tegas dan tanpa pandang bulu tentang zonasi yang ideal dari lahan basah. Secara teori ekologis, kawasan yang harus dijaga dan dipertahankan fungsinya meliputi:

Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan akifer (tempat pengisian air bumi) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan.

Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu mere-sapkan air hujan secara besar-besaran. Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.

Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses alam. Kawasan Sekitar Danau atau Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.

Penulis adalah Pemerhati Psikososial dan Kebijakan Lingkungan Hidup

Last modified: 6/2/07

Banjir, Antara Kecolongan dan Kealpaan

Oleh: Martina Susanti

Eksploitasi yang semena-mena terhadap alam akan mengakibatkan alam “berontak” terhadap perilaku yang diterimanya.

Banjir besar siklus lima tahunan kembali melanda kawasan Jakarta. Banyak orang yang menyalahkan, penyebab (biang) bencana kali ini adalah curah hujan yang tinggi di kawasan Bogor dan Jakarta.

Kita pernah mengalami keadaan buruk itu pada Februari 2002. Dalam siklus banjir lima tahunan itu bahkan pelataran Istana Merdeka sempat tergenang pula.

Sepanjang periode lima tahun ini harus kita katakan belum ada sistem pengendalian air dan juga banjir yang lebih baik yang kita introduksi. Kita tahu, meski sudah dirancang sejak 2002, Banjir Kanal Timur hingga kini belum juga selesai.

Reaksi alam

Bencana alam seperti banjir memang tidak pernah diundang. Namun, perilaku manusia yang tidak akrab dengan lingkungan sebenarnya merupakan undangan tidak langsung terhadap bencana banjir. Demikian pula dengan setiap bencana banjir yang melanda Kota Jakarta ini, tidak pernah lepas dari ulah manusia yang seenak perut sendiri dalam memperlakukan alam lingkungan. Eksploitasi yang semena-mena terhadap alam akan mengakibatkan alam “berontak” terhadap perilaku yang diterimanya.

Jadi pada dasarnya banjir merupakan ekspresi demonstrasi alam terhadap sesuatu yang kurang wajar mengena dirinya. Banjir membawa pesan bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi terkait dengan lingkungan tempat bencana itu terjadi.

Bencana banjir sebenarnya merupakan akibat rusaknya lingkungan atau salah satu indikator tidak serasinya ekosistem di suatu daerah aliran sungai (DAS). Dengan kata lain, keseimbangan ekologis suatu DAS atau sub-DAS telah terganggu.

Sebuah DAS pada dasarnya adalah sebuah sistem sungai yang dapat dianggap ekosistem, yang di dalamnya terjadi interaksi kompleks antara komponen makhluk hidup (tumbuhan, hewan, jasad renik, dan manusia) dan lingkungan fisik di sekitarnya (radiasi matahari, angin, air, tanah, dan lain-lain). Adanya perubahan yang berlaku pada salah satu komponen di dalamnya akan menyebabkan ketidakseimbangan/gangguan terhadap sistem keseluruhan DAS.

Efek yang terjadi di antaranya menurunnya kuantitas, kualitas, dan fluktuasi ketersediaan air dari sistem DAS.

Kasus nyata rusaknya sistem DAS adalah ekstremitas fluktuasi ketersediaan air sehingga terjadi bencana kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya, terjadi bencana banjir pada saat musim hujan. Penyebab klasik rusaknya sistem DAS antara lain ulah manusia itu sendiri dalam menggarap ladang/lahan di kawasan DAS. Misalnya saja adanya perladangan yang berpindah-pindah serta perbukitan yang dikupas dan dijadikan lahan pertanian atau pertambangan.

Berubahnya situ dan danau alami tempat menampung air hujan dan dijadikan lahan permukiman juga ikut memicu terjadinya bencana banjir. Dari puluhan situ di kawasan Jabotabek, misalnya, sekarang keberadaannya bisa dihitung dengan jari. Kondisi ini menjadikan air permukaan tidak tertampung, mengalir, dan akhirnya meluap ke berbagai daerah yang sebelumnya merupakan situ atau danau alami tersebut. Pengurukan daerah-daerah rendah dan dijadikan lokasi permukiman baru juga menambah runyam keadaan.

Fenomena penggundulan hutan yang dilakukan secara liar dan membabi buta demi tuntutan perut pun menjadi biang kerok kerusakan ekosistem DAS. Kasus gundulnya (kerusakan) hutan akan mengakibatkan daya infiltrasi tanah menjadi berkurang sehingga surface run off (aliran air permukaan) menjadi besar dan pada gilirannya akan menaikkan debit sungai dengan cepat dan menyebabkan terjadinya bencana banjir. Kondisi daerah hulu (dataran tinggi) yang relatif gundul tersebut jika terguyur oleh tumpahan air hujan, akan mengalami erosi dan terjadi proses pelumpuran (sedimentasi) yang dengan cepat mengalir ke anak-anak sungai di bawahnya. Pada akhirnya air sungai menjadi keruh dan terjadi proses pendangkalan sungai. Contoh paling jelas adalah terjadi proses sedimentasi besar-besaran di beberapa waduk dan danau-danau di Indonesia.

Faktor lain yang ikut memperbesar frekuensi banjir adalah pengaruh urbanisasi dan pembuatan rumah-rumah di kawasan puncak (hulu DAS), yang notabene merupakan daerah penyangga (buffer zone) kawasan di bawahnya. Di samping itu, kawasan puncak juga merupakan daerah tangkapan air hujan (catchment area) bagi daerah di bawahnya. Inti pokoknya adalah berkurangnya lahan terbuka dan digantikan kedudukannya (tergeser) oleh lahan tertutup. Lahan tersebut umumnya tertutup oleh struktur bangunan, seperti jalan raya, tempat parkir, dan pembuatan struktur bangunan yang sebagian besar bersifat menutup daerah-daerah yang sebelumnya terbuka.

Berbagai kondisi di atas, ditambah faktor alami berupa intensitas distribusi curah hujan yang demikian besar (terbesar semenjak 1974) dan merata, akan menyebabkan terjadinya bencana banjir seperti yang melanda Jakarta dan beberapa tempat lainnya. Pertanyaan yang wajar muncul adalah apakah upaya pencegahan atau mitigasi bencana banjir perlu dibenahi sehubungan dengan fenomena ini?

Upaya mitigasi bencana banjir (pengendalian/pencegahan bencana banjir) dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap pengendalian erosi dan tahap pengendalian banjir, yang kesemuanya dilakukan pada kawasan DAS. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah membenahi ekosistem suatu DAS/sub-DAS yang telah rusak atau bahkan sudah mencapai ambang kritis. Usaha mitigasi ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Hakikat mitigasi bencana banjir adalah menekan sekecil mungkin surface run off dan memperbesar jumlah air yang diinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian, jumlah air yang disuplai tidak akan jauh berbeda antara musim hujan dan kemarau. Atau dapat dikatakan fluktuasi ketersediaan air tidak berbeda secara ekstrem antarkedua musim. Hal ini bisa dilakukan dengan kembali menata DAS-sub-DAS yang sudah kritis, bahkan rusak. Tujuan pengelolaan DAS/sub-DAS adalah mendapatkan hasil air yang optimal, baik dipandang dari aspek kuantitas, maupun kualitas. Usaha pengelolaan DAS/sub-DAS ini bisa diusahakan pemerintah dalam wujud penyelamatan hutan, tanah, dan air, yang biasa dikenal dengan program reboisasi dan penghijauan.

gravatar

Waduk Pengendali Banjir (Flood Control Reservoir)

Waduk pengendali banjir adalah bangunan yang berfungsi menahan semua atau sebagian air banjir dalam tampunganya dan mengalirkan sesuai dengan kapasitas sungai. Sistem spillway umumnya dibangun sebagai bagian dari waduk, dimana berfungsi untuk melepaskan bagian banjir yang tidak bisa ditampung. Tampungan puncak banjir dalam waduk akan mengurangi debit dan elevasi muka air banjir dibagian hilir waduk.

Sketsa Waduk Pengendali Banjir

Sketsa Waduk Pengendali Banjir

Tingkat perlindungan banjir dari waduk ini tergantung dari hubungan beberapa faktor yaitu karakteristik puncak banjir, kapasitas tampungan dan operasi bangunan outlet spillway. Waduk yang lebih besar mampu untuk menampung seluruh volume banjir, yang dapat disimpan untuk kegunaan di masa yang akan datang secara terkendali. Waduk yang lebih kecil hanya bisa menampung sebagian volume banjir, tetapi dapat meredam puncak inflow, sehingga terjadi pengurangan outflow melewati spillway.

Dalam beberapa kasus spillway berpintu atau bangunan outlet memungkinkan operator untuk menurunkan muka air waduk sebelum terjadinya banjir, sehingga tersedia kapasitas tampungan tambahan untuk menampung banjir (misalnya: Dam Sutami dan Wonogiri). Peramalan dan pemantauan banjir yang andal adalah perlu untuk mendapatkan keuntungan penuh dari tampungan banjir yang tersedia, baik di bawah atau di atas elevasi muka air waduk pada keadaan untuk beroperasi penuh.

gravatar

EFEKTIFITAS VEGETATIF DALAM KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA SUATU DAS

Abstract

Soil and water conservation by vegetation represent crop management technology in the form of bush or tree, good in the form of annual crop and also the crop one year and grass. This technological often allied with soil and water conservation action in management. Use vegetation target that is besides can of soil and water conservation, also earn reclamation of land from damage of effect erosion, beside own economic value especially from system agroforestry. Vegetation can enlarge to infiltration and evapotranspiration so that the rain which fall only a few becoming surface stream resulting erosion and floods but will become ground water so that the availability irrigate during the year at one particular watershed more well guaranted. Vegetation in the form of forest crop very effective in improving existence of river stream continually with debit 2,5 bigger times compared to by watershed in agriculture region. Beside that, forest also can minimize erosion till only 0,4 tons/ha/yr. Keywords : Vegetation, Conservation, and Watershed.

A. Pendahuluan

Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Sinukaban, 1994). Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :

a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.

b. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.

c. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran, dll.

d. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan. Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman akan memperkecil erosi dan run off. Harsono (1995), lahan tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan tanah terbuka.

Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat berdampak terhadap :

  • Menyediakan cadangan air tanah
  • Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
  • Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
  • Mempertahankan kondisi tanah dan air.
  • Memperbaiki ekonomi petani.

Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS (Hamilton, et.al., 1997).

B. Apakah Vegetatif Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?

Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan.(Sinukaban, 2003). Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat :

  1. memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah,
  2. penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi,
  3. disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.

Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani (Hamilton, et.al., 1997). Baker (1956) dalam Foth (1995), membedakan efek penutup tanah menjadi lima kategori :

  1. Intersepsi terhadap curah hujan
  2. Mengurangi kecepatan run off
  3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
  4. Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada meninhkatkan porositas tanah.
  5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya.

Penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et.al., (1997) di Mount APO Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup tanah seperti pada Tabel 1.

Dari tabel di atas terlihat bahwa erosi meningkat secara eksponensial dengan berkurangnya penutupan tanah. Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman pohon dapat mengurangi erosi. Chang dan Cheng (1974) dalam Hamilton, et.al., (1997) meneliti tentang intercropping tanaman penutup tanah dengan citrus. Tanaman penutup tanah meliputi : Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea grass, Summer soy bean, Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia grass, Guinea grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah erosi dan run off. Pengaruh berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah dan praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan kemiringan yang cukup di Taiwan dipelajari oleh Wang dkk (1970) dan Cang (1970). Wang mendapatkan bahwa barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off. Tanpa adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass adalah sangat efektif dalam mengurangi run-off dan erosi. Florideo (1981) dalam Hamilton, et.al., (1997)mengamati bahwa pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah C. Bagaimana Vegetatif Dapat Berfungsi Sebagai Konservasi Tanah dan Air? Vegetatif dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan. Menurut Hamilton (1997), bahwa vegetatif memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

1. Aspek Konservasi

Aspek konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah terjadinya erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat angin dan salinasi. Menurut Mawardi (1991) bahwa secara umum infiltarasi dipengaruhi oleh:

  1. intensitas hujan atau irigasi,
  2. kandungan lengas tanah, dan
  3. faktor tanah.

Faktor tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat mempengaruhi struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta keadaan tanaman. Penutupan tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping itu juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk melalui infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman penutup di bawahnya atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya memiliki penutupan yang rapat sehingga menekan evaporasi. Demikian halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki peranan penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses terjadinya erosi. Menurut Harsono (1995), bahwa proses terjadinya erosi oleh hujan sebagai berikut :

  1. Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
  2. Transportasi oleh hujan
  3. Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
  4. Transportasi oleh run off.

Menurut Sukirno (1995), bahwa usaha konservasi tanah pada hakekatnya adalah pengendalian energi dari akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha :

  1. Melindungi tanah dari prediksi pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup tanah.
  2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman pelindung, atau pelindung lainnya.
  3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.

2. Aspek Reklamasi.

Aspek reklamasi berupa perbaikan unsur hara dari proses dekomposisi dedaunan/serasah, sehingga dapat meningkatkan unsur N, K. Kerusakan lahan banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan kandungan bahan organik dan Nitrogen yang sangat merugikan teristimewa terhadap tanaman bijibijian bukan leguminosa. Penurunan Nitrogen tanah dapat diperbaiki dengan menggunaan pupuk Nitrogen, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun dengan adanya sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara ekstensif dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur, Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah (Foth, 1995) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme pembentukan humus.

Gambar 1. Mekanisme pembentukan humus.

Humus mengabsorbsi sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya untuk mengembang dan menyusut. Humus merupakan faktor penting dalam pembentukan struktur tanah. Humus mempunyai ciri-ciri fisik lain dan sifat fisikokimia yang menjadikan humus merupakan unsur pokok tanah yang bernilai tinggi.

3. Aspek Ekonomi.

Dimana tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestri yang dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestri memiliki fungsi ekonomi bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya produksi bahan pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Pendapatan petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil panen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa kayu juga dapat menjadi sumber uang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak.

Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk syste-aset yang dapat segera diuangkan, namun diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menyebabkan gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak system produksi yang ada.

D. Untuk Apa Vegetatif Dikembangkan pada Suatu DAS?

Teknologi vegetatif tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi debit sungai yang tidak seragam. Artinya perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar sangat besar. Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa membandingkan DAS untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan kembali, dan yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus mercusii, Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan Eucalyptus alba.

Hasil dilaporkan bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran sungainya secara terus-menerus dalam musim kering yang besarnya 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS untuk pertanian (Hamilton, et.al., 1997). Selanjutnya Hamilton, et.al., (1997), melaporkan pula bahwa dengan penanaman hutan mengakibatkan volume aliran mendadak yang agak lebih rendah, penurunan nyata dalam debit puncak, serta penundaan waktu tercapainya puncak yang nyata.

Percobaan Pine Tree Branch yang dilaksanakan antara tahun 1941-1960 tidak hanya menunjukkan penurunan yang besar dalam puncak musiman tertinggi, tetapi juga penurunan dalam pelepasan aliran puncak dari badai sebelum dan sesudah penanaman yang sebanding yang meliputi seluruh kisaran keadaan lengas, intensitas curah hujan dan musim (Tennesse Valley Athority, 1962 dalam Hamilton, et.al., 1997). Sebagai contoh, waktu yang diperlukan oleh 20 dan 95 persen air yang jatuh untuk mengalir ke luar dari daerah tampung masing-masing menjadi lebih lama kira-kira 5-18 kali, dan penurunan debit puncak antara 92-97 % dalam musim pertumbuhan dan 71-92 % dalam musim dorman.

Demikian halnya dengan hasil penelitian Tsukamoto yang dilaporkan pada tahun 1981 menunjukkan bahwa di Jepang debit puncak dari DAS yang gundul adalah 1,4 kali lebih besar daripada DAS yang dihutankan kembali. Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam Hamilton, et.al., 1997). Pada hutan sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19 ton/ha/thn. Anderson (1978), mengamati bahwa erosi meningkat sebagai akibat hutan yang terbakar, sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di DAS Oregon USA.

E. Penutup

Pengelolaan secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah dan air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan penutupan lahan sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi, memperbaiki hara tanah serta memiliki nilai ekonomi. Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi aliran yang memiliki perbedaan yang cukup besar antara volume aliran puncak dan aliran dasar. Karena dengan menghutankan suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus menerus dalam musim kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS yang tidak berhutan.

Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan erosi meningkat, demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science). Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.

Hamilton, L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical Forested Watersheds). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Harsono, 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Mawardi, M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program Studi Mekanisasi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB. Bogor.

Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

gravatar

Jenis Tanaman Menurut Fungsinya

A. TANAMAN PENYERAP PARTIKEL LIMBAH:

  1. Agathis alba (damar)
  2. Swietenia macrophylla (mahoni daun lebar)
  3. Podocarpus imbricatus (jamuju)
  4. Myristica fragrans (pala)
  5. Pithecelebium dulce (asam landi)
  6. Cassia siamea (johar)
  7. Polyalthea longifolia (glodogan)
  8. Baringtonia asiatica (keben)
  9. Mimosrops elengi (tanjung)

B. TANAMAN PENYERAP CO2 DAN PENGHASIL O2 :

  1. Agathis alba (damar)
  2. Bauhinea purpurea (kupu-kupu)
  3. Leucena leucocephala (lamtoro gung)
  4. Acacia auriculiformis (akasia)
  5. Ficus benyamina (beringin)

C. TANAMAN PENYERAP/PENEPIS BAU :

  1. Michelia champaka (cempaka)
  2. Pandanus sp (pandan)
  3. Murraya paniculata (kemuning)
  4. Mimosops elengi (tanjung)

D. TANAMAN UNTUK MENGATASI PENGGENANGAN :

  1. Artocarpus integra (nangka)
  2. Paraserianthes falcaratia (albizia)
  3. Acacia vilosa
  4. Indigofera galegoides
  5. Dalbergia spp
  6. Swietenia mahagoni (mahoni)
  7. Tectona grandis (jati)
  8. Samanea sama (kihujan)
  9. Leucena glauca (lambro)

E. TANAMAN UNTUK PELESTARIAN AIR TANAH :

  1. Casuarina equisetifolia (cemara laut)
  2. Ficus elastica (fikus)
  3. Hevea brasiliensis (karet)
  4. Garcinia mangostana (manggis)
  5. Lagerstroemia speciosa (bungur)
  6. Fragraea fragrans
  7. Cocos nucifera (kelapa)

F. TANAMAN PENGAMAN PANTAI DAN ABRASI :

  1. Mangrove
  2. Avicinnea
  3. Bruguiera
  4. Nipah

Sumber: http://www.dishut.jabarprov.go.id

gravatar

Tanaman Penutup Tanah

Tanaman penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah.

Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi.

Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan seperti duri dan sulur-sulur yang membelit.

Tanaman penutup tanah atau tanaman pembantu dapat digolongkan dalam (Osche et al 1961):

Tanaman penutup tanah rendah

Tanaman penutup tanah rendah terdiri dari jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat atau menjalar:

  • Dipakai dalam pola pertanaman rapat: Calopogonium muconoides Desv, Centrosema pubescens Benth, Mimosa invisa Mart, Peuraria phaseoloides Benth.

  • Digunakan dalam pola pertanaman barisan: Eupatorium triplinerve Vahl (daun panahan, godong, prasman, jukut prasman), Salvia occidentalis Schwartz (langon, lagetan, randa nunut), Ageratum mexicanum Sims.

  • Digunakanuntuk penguat teras dan saluran-saluran air: Althenanthera amoena Voss (bayem kremah, kremek), Indigofera endecaphylla jacq (dedekan), Ageratum conyzoidesErechtites valerianifolia Rasim (sintrong), Borreria latifolia Schum (bulu lutung, gempurwatu), Oxalis corymbosa DC, Brachiaria decumbens, Andropogon zizanoides (akar wangi), Panicum maximum (rumput benggala), Panicum ditachyumPaspalum dilatum (rumput Australia), Pennisetum purpureum (rumput gajah) . L (babandotan), (balaban, paitan),

Tanaman Penutup Tanah sedang (perdu)

  • Dipakai dalam pola pertanaman teratur di antara baris tanaman pokok: Clibadium surinamense var asperum baker, Eupatorium pallessens DC (Ki Dayang, Kirinyuh)
  • Digunakan dalam pola pertanaman pagar: Lantana camara L (tahi ayam, gajahan, seruni), Crotalaria anagyroides HBK, Tephrosia candida DC, Tepherosia vogelii, Desmodium gyroides DC (kakatua, jalakan). Acacia villosa Wild (lamtoro merah), Sesbania grandifloraCalliandra calothyrsus Meissn (kaliandra merah), Gliricidia maculata (johar cina, gamal), Flemingia congesta Roxb, Crotalaria striata DC., Clorataria juncea, L. Crotalaria laurifolia Poir (urek-urekan, kacang cepel), Cajanus cajan Nillst (kacang hiris, kacang sarde) dan Indigofera arrecta Hooscht. PERS (turi),

  • Penggunaan di luar areal pertanaman utama dan merupakan sumber pupuk hijau dan mulsa, untuk penghutanan dan perlindungan dinding jurang: Leucaena glauca (L) Benth (pete cina, lamtoro, kemelandingan), Tithonia tagetiflora Desp, Graphtophyllum pictum Gries (daun ungu, handeuleum), Cordyline fruticosa Backer, Eupatorium riparium REG.

Tanaman penutup tanah tinggi atau tanaman pelindung

  • Digunakan dalam pola teratur di antara baris tanaman utama: Albizia falcata (sengon laut, jeunjing), Grevillea robusta A Cum, Pithecellobium saman benth (pohon hujan), Erythrina sp (dadap), Gliricidia sepium

  • Dipakai dalam barisan: Leucaena glauca atau Leucaena leucocephala
  • Penggunaan untuk melindungi jurang, tebing atau untuk penghutanan kembali: Albizia falcata dan Leucaena glauca, Albizia procera Benth, Acacia melanoxylon, Acacia mangium, Eucalyptus saligna, Cinchona succirubra, Gigantolochloa apus (bambu apus), Dendrocalamus asper, Bambusa bambos.

Tumbuh-tumbuhan bawah (undergrowth) alami pada perkebunan

Banyak usaha telah dilakukan pada beberapa perkebunana, terutama perkebunan karet, dalam memanfaatkan tumbuh-tumbuhan bawah alami untuk melindungi tanah.

Tumbuhan yang tidak disukai

Banyak tumbuhan yang termasuk dalam tumbuhan pengganggu atau tidak disukai yang dapat berfungsi sebagai penutup tanah atau pelindung tanah terhadap ancaman erosi. Tumbuh-tumbuhan itu tidak disukai karena sifat-sifatnya yang merugikan tanaman pokok dan sulit diberantas atau dibersihkan dari lahan usaha pertanian: Imperata cylindrica, Panicum repens (lampuyangan), Leersia hexandra (kalamento), Saccharum spontaneum (gelagah), Anastrophus compressus dan Paspalum compressum (tumput pahit).

Sumber bahan: Sitanala Arsyad (2006). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Inovasi Ekologi dalam Pengelolaan Tanah

Oleh: Subekti Rahayu Gulma adalah momok bagi para petani, karena bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang mereka budidayakan. Hal ini juga dialami para petani kopi di Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat. Gulma seringkali menyaingi tanaman kopi di daerah yang sekitar 70%-nya dipenuhi kebun kopi ini. Bagaimana petani setempat mengatasinya?

Di wilayah ini, gulma umumnya menjadi masalah di kebun kopi naungan sederhana (kopi yang ditanam dengan tanaman penaung jenis polong-polongan) dan kebun kopi muda. Pada kedua jenis kebun kopi ini,kerapatan tajuknya relatif terbuka, apalagi jika pohon penaungnya menggugurkan daun di musim kemarau. Celah antar tajuk memungkinkan sinar matahari menembus permukaan tanah dan memicu pertumbuhanberbagai jenis gulma. Sementara pada kebun kopi jenis multistrata (kopi yang ditanam bersama pohon buahbuahan dan kayu-kayuan), gulma tidak begitu menjadi masalah bagi petani karena tingginya kerapatan tajuk pepohonan dapat menekan pertumbuhan gulma.

Para petani biasanya membersihkan seluruh atau sebagian gulma dengan menggunakan koret (sejeniscangkul kecil). Pembersihan dengan cara ini dapat memicu terbukanya permukaan tanah yang mengawaliterjadinya erosi, terutama pada musim hujan. Biasanya petani menyisakan gulma di sebagian area kebun untuk menghalangi terjadinya erosi. Aktivitas pembersihan gulma ini menuntut alokasi waktu, tenaga, bahkan biaya untuk upah jika menggunakan jasa orang lain.

Selain disebabkan oleh metode pembersihan gulma, erosi juga dipengaruhi oleh ketebalan serasah pada kebun kopi. Serasah yang relatif tebal pada kebun kopi multistrata mengurangi terjadinya erosi tanah sehingga kesuburan tanah tetap terpelihara. Sedangkan, serasah yang relatif sedikit pada kebun kopi naungan sederhana dan kebun kopi muda memungkinan terjadinya lebih banyak erosi, sehingga penurunan kesuburan tanah menjadi lebih cepat. Hal ini terutama terjadi pada kebun yang berada pada tempat-tempat berlereng curam. Sebagai upaya konservasi tanah, para petani kopi umumnya membuat teras dan rorak di antara kebun kopi sehingga tanah yang hanyut, masuk ke dalam rorak tersebut dan tidak terbuang.

Memperkenalkan Arachis pintoi

Gulma dan menurunnya kesuburan tanah menjadi permasalahan utama bagi petani kopi di Sumberjaya, terutama pada kebun-kebun kopi naungan sederhana dan kebun kopi muda. Petani harus mengeluarkan biaya untuk pembersihan gulma dan menyediakan pupuk agar tanahnya kembali subur. Untuk mengatasi dua masalah ini, para petani kopi di Sumberjaya bersama World Agroforestry Centre (ICRAF) berupaya mencari metode yang lebih menguntungkan secara ekonomi dan ekologis.

Memanfaatkan Arachis pintoi—lebih dikenal sebagai “pintoi” di kalangan petani—kemudian menjadi pilihan bersama. Tanaman sejenis kacang-kacangan ini diperkenalkan oleh ICRAF yang bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanah (BPT) Bogor, sebagai sarana konservasi tanah sekaligus untuk menekan pertumbuhan gulma. Kedua lembaga ini mengajak petani berdiskusi mengenai penurunan kesuburan tanah dan pertumbuhan gulma yang terjadi di kebun kopinya.

Selanjutnya para petani diajak berkunjung ke daerah lain yang telah mempraktikkan penanaman A. pintoi, yaitu kebun percobaan Lembaga Penelitian Kopi serta kebun lada yang ada di Lampung Barat. Setelah kunjungan tersebut, 50 orang petani tertarik untuk menanam A. pintoi di kebun kopinya. Antusiasme petani ini pun disambut ICRAF dan BPT Bogor dengan memberikan bantuan, berupa bibit A. pintoi dan biaya perawatan.

Waktunya Pembuktian

Ada ungkapan yang menyebutkan, “petani tidak perlu janji, tetapi perlu bukti”. Setelah menanam A. pintoi di kebun kopinya, petani dapat melihat sendiri bahwa gulma tidak tumbuh lagi, terutama alang-alang yang sangat sulit dibersihkan.

A. pintoi menghambat pertumbuhan alang-alang karena penutupan permukaan tanah oleh tanaman ini menghalangi sinar matahari yang diperlukan rimpang alang-alang untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman yang bisa tumbuh di tempat teduh dan tahan terinjakinjak ini juga seringkali menang ketika bersaing dengan gulma untuk memperoleh air dan hara. Dengan A. pintoi, selain mengurangi risiko penggunaan herbisida, petani tak perlu lagi meluangkan waktu atau mengeluarkan biaya untuk membersihkan gulma.

A. pintoi yang tumbuh di kebun kopi mampu menutupi permukaan tanah sehingga tanah terjaga kelembabannya, tidak terkikis dan terbawa aliran air ketika hujan. Tanaman ini juga menambah unsur hara tanah melalui kemampuannya mengikat nitrogen dari udara. A. pintoi menyediakan tempat bagi mikroorganisme pengikat fosfor, yang juga membantu proses pelapukan daun dan batangnya. Oleh karenanya, serasah A. pintoi merupakan sumber makanan dan tempat hidup hewan tanah yang berguna dalam pelapukan bahan-bahan organik. Petani juga dapat memanfaatkan A. pintoi untuk makanan ternak, seperti kambing, domba, sapi, dan kerbau. Tanaman yang tidak dapat tumbuh tinggi (maksimal 30 cm) dan dapat diperbanyak dengan stek batang ini bisa menghasilkan hijauan ternak yang cukup bernutrisi.

Pendapat Petani versus Hasil Penelitian

Setelah penanaman A. pintoi di kebun kopi petani berjalan selama tiga tahun, ternyata muncul dua pendapat berbeda di kalangan petani. Dari 50 petani yang berpartisipasi, delapan petani tidak menerapkan lebih lanjut penanaman A. pintoi dengan alasan, mengubah kebun kopi menjadi kebun sayur (1 petani), menjual kebunnya (3 petani), dan merasa bahwa A. pintoi menyulitkan ketika musim panen, karena buah kopi yang jatuh di antara tanaman ini sulit ditemukan, di samping mereka juga menginginkan kebun kopi yang benar-benar bersih dari tanaman lain (4 petani). Sisanya, sebanyak 42 petani mengadopsi metode ini lebih lanjut, antara lain dengan cara mengaplikasikan A. pintoi di kebun lain miliknya, menyebarkan informasi dan manfaatnya ke petani lain, bahkan memberikan bibit ke petani lain untuk ditanam.

Pak Baridi, salah satu petani dari Desa Simpang Sari mengatakan, “Saya mendapatkan banyak pengetahuan dari para peneliti yang datang ke sini, seperti pemanfaatan A. pintoi sebagai tanaman penutup tanah. Awalnya masyarakat di Sumberjaya belum mengetahui manfaat tanaman ini. Namun atas masukan para peneliti, beberapa dari kami mencoba mempraktikkannya di sebuah lahan kecil. Hasilnya terbukti bagus dan mudah dipraktikkan. Kemudian kami mencoba menerapkannya di kebun.

Sayangnya, tidak semua petani di sini percaya dan yakin akan manfaat tanaman tersebut karena mereka belum mempraktikannya sendiri. Sebagian petani tertarik setelah melihat keberhasilan kami, kemudian ikut menerapkannya di lahan mereka.” Ternyata manfaat yang dikemukakan petani sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan oleh para peneliti. Hasil analisis membuktikan bahwa di kebun kopi petani yang tidak ditanami A. pintoi terjadi kehilangan tanah akibat erosi sebanyak 10 kali lipat dibandingkan kebun yang ditanami. Hal ini dikarenakan akar A. pintoi dapat mencegah hanyutnya tanah oleh air dan angin. Daun-daunnya juga mengurangi kikisan tetesan air hujan. Bisa dibayangkan, betapa besar unsur hara yang hilang pada kebun yang tidak ditanami A. pintoi. Seiring hilangnya unsur hara, kesuburan tanah akan menurun dan akibatnya hasil panen pun berkurang.

Hasil Pembelajaran

Adanya perbedaan persepsi di antara petani setelah melakukan percobaan penanaman A. pintoi memberikan gambaran bahwa ada hal-hal yang perlu dipelajari dari proses adopsi suatu inovasi. Dengan mengajak petani melakukan penelitian di kebunnya, terlihat bahwa suatu inovasi akan lebih mudah diterima bila petani mendapat bukti nyata dari hasil percobaannya sendiri. Selain itu, petani yang mengadopsi perlu lebih diyakinkan dengan menyertakan bukti-bukti ilmiah berdasarkan hasil penelitian mengenai manfaat inovasi yang coba dikembangkan. Upaya ini perlu dilakukan agar mereka mengembangkan dan menyebarkan apa yang mereka peroleh ke petani lainnya.

Di samping itu, perlu juga dilakukan pendekatan kepada petani yang belum mengadopsi, untuk mengetahui alasan-alasan mengapa mereka tidak mengadopsi. Subekti Rahayu, World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. Cifor, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor, Jawa Barat Telp: 0251- 625415, Fax: 0251- 625416, E-mail: s.rahayu@cgiar.org Referensi Mulyoutami, E, Stefanus, E, Schalenbourg, W, Rahayu, S and Joshi, L. 2004. Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi dan Pengelolaan Tanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat, Agrivita 26:98-107, 18 MARET 2007

gravatar

Membuat Taman Hujan

Foto: iDEA/Richard Salampessy

Taman dengan neraca air mini. Dapat meresapkan air hujan, sekaligus menyaring polutan logam berat.

Berkurangnya permukaan tanah yang dapat meresapkan air hujan berakibat bencana alam, seperti banjir, erosi, tanah longsor, dan berkurangnya kesuburan tanah. Berbagai upaya untuk meningkatkan penyerapan air tanah belum efektif dan belum menyelesaikan masalah.

Banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah, seperti penggunaan material conblock dan grass block sebagai pelapis tanah, juga dibuatnya sumur resapan dan biopori. Namun hal itu belum dapat mencegah polutan berbahaya dari udara yang terlarut dalam air hujan dan mencemari badan air.

Taman hujan adalah konsep baru penyerapan hujan ke dalam tanah, yang berupa neraca air mini. Neraca air adalah tempat air hujan berkumpul dan terserap, sehingga tercipta keseimbangan air tanah, seperti terbentuknya danau, rawa, empang, dan situ. Selain dapat berfungsi sebagai drainase, taman ini juga dapat menyaring polutan logam berat, seperti tembaga, cadmium, chrom, timah, dan zinc, yang terlarut dalam air hujan. Penyaringannya oleh lapisan mulsa serbuk gergaji dan serpihan kayu. Taman hujan dapat diletakkan di pinggir perkerasan, seperti carport, driveway, dan pool deck, sehingga run off (aliran air) dapat langsung diserap. Talang dari atap dapat disalurkan melalui pipa atau selokan alami yang tertutup rumput ke taman ini.

Untuk membuat taman hujan, kita dapat memanfaatkan lahan seluas mungkin. Bentuknya bisa bulat, lonjong, organik, kotak, atau memanjang seperti pagar hidup. Luasan taman yang ideal dapat diperoleh dengan kita menghitung volume cekungan.

Cara menghitung luas ideal adalah dengan mengalikan luas atap dengan debit air hujan harian dan koefisien 0,623. Infomasi curah hujan harian didapatkan dari curah hujan bulanan pada bulan terbasah, misalnya Desember atau Januari, dibagi 30hari.

Perlu diingat bahwa air yang menggenang pada cekungan diharapkan segera meresap dalam hitungan jam, sehingga tidak menjadi sarang nyamuk. Pilih minimal lima jenis tanaman. Semakin banyak jenis tanaman, semakin baik karena keragaman yang tinggi membuat ekosistem yang terbentuk semakin stabil. Kestabilan ekosistem ini berdampak positif pada perawatan karena tanaman mampu memelihara dirinya sendiri –sedikit membutuhkan campur tangan perawatan Anda. Tatanan berbagai jenis tanaman menyerupai ekosistem alami akan menarik kedatangan burung dan kupu-kupu. Tanam tanaman yang tinggi di bagian tengah dan cekungan, sementara yang pendek ditanam di bagian pinggir –semakin ke pinggir, semakin pendek.

Di lokasi yang terkena sinar matahari lebih dari enam jam setiap hari, pilihlah jenis tanaman yang berbunga. Sementara di lahan dengan sinar matahari yang terhalang bangunan atau pohon, pilihlah jenis tanaman yang tahan naungan. Tanaman yang dipilih harus tanaman lokal, sehingga mudah beradaptasi dengan iklim di daerah Anda. Selain kebersihan, perawatan cukup dengan penjarangan tanaman sewaktu-waktu dan penyiraman pada musim kemarau.

Go Green!!!

Daftar Isi Basyabook

Follow Me on Twitter

My Skype

My status

Ocehan @basya999

Ngobrol Yuk...

My Google Talk

Artikel Basya World