gravatar

Ekodrainase untuk Mengurangi Banjir

Hujan lebat di kota-kota besar, termasuk Jakarta, Semarang, dan Surabaya, selama beberapa jam saja sering mengakibatkan banjir. Ini karena kekeliruan konsep drainase sejak awal. Ekodrainase diyakini sebagai konsep terkini yang mampu mengurangi banjir.

BANJIR di kawasan perkotaan umumnya terjadi akibat sebagian besar bangunan di wilayah itu terbuat dari bahan-bahan yang menghalangi peresapan air ke dalam tanah.
Akibatnya sebagian besar air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah, namun mengalir di permukaan sebagai air larian. Jika saluran drainasenya tidak mampu menampung air, pastilah menggenangi wilayah kota tersebut.
Namun, ada juga wilayah kota yang dilanda banjir meski hujan turun dalam waktu singkat serta tidak lebat. Hal ini terjadi karena sungai-sungai yang melewati kota itu meluap, akibat limpahan air hujan dari daerah di atasnya. Sebagian banjir di Semarang dan Jakarta termasuk dalam kategori ini.

Bagaimana mengatasinya, sehingga risiko banjir bisa dikurangi? Konsep usang mesti ditinggalkan (lihat Konsep Masih Konvensional), diganti dengan konsep baru yang lebih ramah lingkungan. Misalnya konsep ekodrainase.
Ekodrainase kini menjadi konsep utama di dunia internasional. Ia dikembangkan dari konsep ekohidrolik , yaitu bagaimana mengelola kelebihan air atau mengalirkannya ke sungai, tanpa melebihi kapasitas sungai itu sendiri.
Melalui konsep ini, air yang berlebihan di musim hujan dapat dikelola sebanyak mungkin agar meresap ke dalam tanah sebesar-besamya secara alami, untuk meningkatkan kandungan air tanah. Sehingga pada musim kemarau, air masih bisa diharapkan tersimpan di dalam tanah.

Menurut Dr Ing lr Agus Maryono, staf pengajar Fakultas Teknik UGM, konsep ekodrainase dapat dilakukan dengan beberapa metode. Misalnya metode kolam konservasi, parit konservasi, sumur resapan, river side polder, pengembangan perlindungan air tanah, dan metode modifikasi lansekap.

Kolam Konservasi

Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam air di perkotaan, permukiman, lahan pertanian, dan lahan perkebunan. Kolam ini untuk menampung air hujan yang kemudian akan diresapkan, dan sisanya dialirkan ke sungai secara pelan-pelan.

Kolam konservasi dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah bertopografi rendah, daerah bekas galian pasir atau mineral lainnya, atau secara khusus dibuat dengan menggali area tertentu.

Pembuatan kolam konservasi akan menguntungkan, jika dikaitkan dengan kebutuhan rekreasi masyarakat. Misalnya dibangun di kawasan permukiman yang diserasikan dengan perumahan di kawasan sekitar, sehingga bisa menjadi tempat tujuan rekreasi masyarakat sekitar.

Metode ini berbeda dari parit konservasi, yang digunakan di lahan pertanian dan perkebunan, dengan membuat galian tanah memanjang/membujur di beberapa tempat tanpa pasangan. Parit ini sekaligus dapat digunakan sebagai tempat budi daya ikan.

Sedangkan metode sumur resapan dilakukan dengan membuat sumur resapan untuk menampung dan meresapkan air hujan yang jatuh dari atap rumah.
Metode ini sangat dianjurkan untuk permukiman di daerah lembah dan dataran, tetapi tidak dianjurkan untuk permukiman di daerah lereng (terutama lereng agak terjal), karena dapat mendorong terjadinya tanah longsor.

Polder

Metode river side polder dilakukan dengan membuat polder di sisi sungai dengan melebarkan bantaran sungai di beberapa tempat secara selektif. Prinsip kerjanya adalah menahan aliran air, dengan mengelola atau menahan kelebihan air di sepanjang bantaran sungai. Lokasi polder perlu dicari dan di-kembangkan sejauh mungkin mendekati kondisi alami. Artinya bukan polder dengan pintu-pintu hidrolik teknis dan tanggul lingkar hidrolik yang mahal.

Polder ini berfungsi saat muka air naik. Sebagian air mengalir ke dalam polder dan keluar jika banjir reda. Sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi, serta konservasi air tetap dapat terjaga.

Metode lainnya adalah areal perlindungan air tanah. Ini dapat dilakukan dengan menetapkan kawasan lindung untuk air tanah. Pada kawasan ini tidak boleh dididirikan bangunan apapun, dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam ranah.

Agus Maryono menyarankan agar mencari tempat-tempat yang cocok (secara ekologi dan geologi) di berbagai kawasan, untuk dijadikan areal recharge serta perlindungan air tanah, sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase kawasan.

Bagaimana dengan metode modifikasi lansekap? Pada prinsipnya, metode ini dilakukan dengan merekayasa lansekap yang ada, baik secara makro maupun mikro, sehingga makin banyak air hujan yang tertampung dan bisa diresapkan di areal tersebut .

Metode ini dapat dilakukan secara sederhana, dengan menggunakan konstruksi mulde atau menggunakan cekungan-cekungan horizontal yang didesain artistik, sehingga masih dapat dipakai untuk keperluan tertentu di musim kering.
Modifikasi lansekap juga dapat dilakukan dengan menginterupsi air larian pada jarak-jarak tertentu, sehingga air hujan memiliki tenggang waktu untuk meresap ke dalam tanah.

Hal seperti ini sudah banyak dilakukan di lahan-lahan pertanian dan perkebunan dengan membuat terasering. Dengan adanya terasering, air larian diinterupsi agar punya kesempatan untuk meresap, setidaknya kecepatan aliran dikurangi agar tidak menilnbulkan erosi.

Jika konsep ekodrainase dengan berbagai kombinasinya ini bisa memasyarakat dan dilaksanakan, insya Allah bencana banjir pada musim hujan maupun kekeringan di musim kemarau dapat dikurangi. (32)

Sumber: http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=1974

Daftar Isi Basyabook

Follow Me on Twitter

My Skype

My status

Ocehan @basya999

Ngobrol Yuk...

My Google Talk

Artikel Basya World