gravatar

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Pendahuluan

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Batas‐batas alami DAS dapat dijadikan sebagai batas ekosistem alam, yang dimungkinkan bertumpang‐tindih dengan ekosistem buatan, seperti wilayah administratif dan wilayah ekonomi. Namun seringkali batas DAS melintasi batas kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara. Suatu DAS dapat terdiri dari beberapa sub DAS, daerah Sub DAS kemudian dibagi‐bagi lagi menjadi sub‐sub DAS.


Komponen‐komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air (Gambar 1). Masing‐masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri‐sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salahsatu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan.


Prinsip keberlanjutan (sutainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, dimana fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial‐budaya dari sumberdaya‐sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).

Di dalam mempelajari DAS, biasanya DAS dibagi menjadi hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan topografi besar, dan bukan daerah banjir. Adapun DAS bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir. Daerah aliran sungai tengah merupakan transisi diantara DAS hulu dan DAS hilir. Masing‐masing bagian tersebut saling berkaitan. Bagian hulu DAS merupakan kawasan perlindungan, khususnya perlindungan tata air, yang keberadaannya penting bagi bagian DAS lainnya. Contoh keterkaitan antara bagian hulu dengan hilir diantaranya adalah : (a). bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian hilir, (b). erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di hilir, dan (c). bagian hilir umumnya menyediakan pasar bagi hasil pertanian dari bagian hulu.

Gambar 1. Interaksi Antar Komponen dalam DAS

Perbedaan karakteristik DAS Hulu dan Hilir disajikan pada Tabel 1.

Pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang ada di dalam DAS secara rasional dengan tujuan untuk mencapa keuntungan yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan resiko kerusakan seminimal mungkin. Dalam konteks yang lebih luas pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi, dan satuan pengaturan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjr.

Pengelolaan DAS dijalankan berdasarkan prinsip kelestarian sumberdaya (resources sustainability) yang menyiratkan keterpaduan antara prinsip produktifitas dan konservasi sumberdaya (sustainabilty = productivity + conservation of resources) di dalam mencapai beberapa tujuan pengelolaan DAS, yaitu : (a) terjaminnya penggunaan sumberdaya alam yang lestari, seperti hutan, hidupan liar, dan lahan pertanian; (b). tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan; (c).terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun; (d).mengendalikan aliran permukaan dan banjir; (e).mengendalikan erosi tanah, dan proses degradasi lahan lainnya.

Pengelolaan DAS mencoba menyeimbangkan tujuan ekonomi sumberdaya alam dengan tujuan konservasi dalam suatu kawasan DAS. Tujuan produksi menitikberatkan untuk mengoptimumkan pendapatan dan produksi, sedangkan tujuan konservasi lebih menekankan pada upaya meminimalkan terjadinya degradasi sumberdaya alam. Ekosistem DAS yang baik dicirikan oleh beberapa parameter sebagai berikut :

a. Produktifitas sumberdaya lahan tinggi

Produktifitas sumberdaya lahan secara langsung dapat dilihat dari hasil panen untuk setiap komoditas yang diusahakan. Hasil yang diperoleh harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu mendesain masa depannya; dalam hal ini pendapatan yang diperoleh selain mencukupi kebutuhan primernya akan pangan, sandang, dan papan, juga kebutuhan lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan sebagai bekal dalam mendesain masa depannya yang lebih baik, juga untuk melaksanakan aktifitas sosialnya. Untuk mencapai tingkat produktifitas yang diharapkan digunakan teknologi (agroteknologi) yang juga menjamin kelestarian sumberdaya alam yang diupayakannya. Pendapatan yang diperoleh hendaknya mencapai 3 ‐ 4 kali standar batas miskin. Garis kemiskinan berdasarkan pendekatan Sayogyo adalah 320 kg beras/kapita/tahun; adapun menurut Bank Dunia garis kemiskinan untuk daerah pedesaan US$ 50 dan untuk daerah perkotaan sebesar US $ 75.

b. Kelestarian Sumberdaya Alam terjamin

Sumberdaya tanah, air, vegetasi, dan fauna dalam kawasan DAS harus terjamin kelestariannya, misalnya laju erosi yang lebih kecil dari laju erosi yang diperkenankan, distribusi hasil air merata sepanjang tahun, kualitas air terjaga, sedimentasi dan kadar lumpur dalam aliran air kecil, keanekaragaman hayati tinggi, prosentase penutupan lahan oleh vegetasi tinggi, polusi lingkungan rendah, dan sebagainya.

c. Kelenturan dan Pemerataan Pembangunan

Kelenturan (resilience) merupakan ketahanan ekosistem terhadap setiap guncangan (ekologis dan ekonomi) yang terjadi dalam DAS. Suatu DAS yang baik akan memiliki tingkat kelenturan yang tinggi terhadap gejolak yang timbul, sehingga ekosistem tersebut tetap bertahan dan kembali ke bentuk semula. Pemerataan pembangunan antara bagian hulu dan hilir masih menjadi masalah dalam pengelolaan DAS. Masyarakat di bagian hulu dengan tingkat kesejahteraan, infrastruktur, dan aksesibilitas yang lebih rendah dari bagian hilir cenderung mengeksploitasi lahannya dengan sangat intensif, sehingga menurunkan kualitas air di hilirnya akibat erosi. Di bagian hilir masyarakat banyak yang tidak menyadari arti pentingnya bagian hulu dalam menjamin infrastrukturnya, sehingga pembangunan di bagian hulu dinomorduakan. Oleh karena itu pemikiran dalam menyisihkan sebagian pajak masyarakat di bagian hilir untuk pengelolaan lingkungan dan pembangnan di bagian hulu dalam bentuk subsidi silang (cross subsidy) perlu ditindaklanjuti, sehingga terjadi proses pemerataan antara kedua bagian wilayah DAS tersebut.

Daerah aliran sungai merupakan suatu megasistem, yang dikelompokkan menjadi sistem fisik, biologis, dan human system (Gambar 2). Setiap sistem dan sub‐sistem ‐ sub sistem di dalamnya saling berinteraksi.

SYSTEMGambar 2. Megasistem Daerah Aliran Sungai(Source : Saha and Barrow (1981) in Mc Donald and D. Kay (1988)Water Resource : Issues and Strategies. Longman. New YorkWATERSHED

Bentuk DAS Bentuk DAS dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu : (a). berbentuk bulu burung; (b). radial; (c). paralel; dan (d). kompleks. Karakteristik masing‐masing bentuk ditampilkan dalam Tabel 2.

Pola Aliran Sungai Pola aliran sungai apabila dilihat dari atas tampak menyerupai beberapa bentuk, seperti menyerupai percabangan pohon (dendritik), segi empat (rectangular), jari‐jari lingkaran (radial), dan trellis. Pola aliran ini dapat merupakan petunjuk awal tentang jenis dan struktur batuan yang ada.

a. Pola dendritik : umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebaran yang luas, misalnya kawasan yang tertutup endapan sedimen yang terluas dan terletak pada bidang horizontal, seperti di dataran rendah bagian timur Sumatera dan Kalimantan.

b. Pola rectangular : Umumnya terdapat di daerah berbatuan kapur, seperti di kawasan Gunung Kidul, Yogya.

c. Pola radial : umumnya dijumpai di daerah lereng gunung berapi, seperti G. Semeru, G. Ijen, G. Merapi. d. Pola trellis : dijumpai di daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan, seperti di Sumatera Barat dan Jawa Tengah

Gambar 3. Pola Aliran Sungai (Microsoft,2002)

Morfometri Sungai. Morfometri sungai mengkaji jaringan fisik DAS secara kuantitatif yang meliputi : luas DAS, panjang sungai, lebar DAS, orde/tingkat percabangan sungai, kerapatan sungai, dan kemiringan sungai.

a. Luas DAS dapat diukur di atas peta menggunakan alat planimeter. Batas DAS merupakan punggung bukit atau pegunungan yang memungkinkan prespitasi yang jatuh menjadi aliran air mengalir melaluisaluran sungai di dalamnya yang terpisah dari kawasan DAS lainnya. Semakin kecil luas DAS yang diamati memerlukan peta topografi dengan skala yang semakin besar.

b. Panjang sungai dihitung sebagai jarak datar dari muara sungai (oulet) ke arah hulu sepanjang sungai induk. Adapun lebar sungai merupakan pembagian antara luas DAS dengan panjang sungai.

Gambar 4. Urutan Nomor Orde Sungai

c. Orde atau tingkat percabangan sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai dalam satu AS (Soewarno, 1991). Alur sungai paling hulu yang tidak memiliki cabang disebut orde pertama, pertemuan dua orde pertama disebut orde kedua, pertemuan orde pertama dengan orde kedua disebut orde kedua, dan pertemuan dua orde kedua disebut orde ketiga, begitu seterusnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa pertemuan dua orde yang sama menghasilkan nomor orde satu tingkat lebih tinggi, sedangkan pertemuan dua orde sungai yang berbeda memberikan nomor orde yang sama nilainya dengan nomor orde tertinggi diantarakedua orde yang sungai yang bertemu.

d. Kerapatan sungai adalah angka indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Indeks tersebut dihitung dengan persamaan :

D = L/A

D adalah indeks kerapatan sungai (km/km2), L adalah jumlah panjang seluruh alur sungai (km), dan A adalah luas DAS (km2). Tabel 5 menunjukkan kriteria indeks kerapatan sungai. Horton (1949) menyebutkan bahwa kerapatan sungai berhubungan dengan sifat drainase DAS. Sungai dengan kerapatan kurang dari 0,73 umumnya berdrainase jelek atau sering mengalami penggenangan, sedangkan sungai dengan kerapatan antara 0,73 ‐ 2,74 umumnya memiliki kondisi drainase yang baik atau jarang mengalami penggenangan.

e. Kemiringan sungai utama adalah rasio perbedaan tinggi antara titik tertinggi (di bagian hulu) dengan titik terendah (di bagian hilir) dari sungai utama dibagi dengan panjang sungai utama.

Siklus Hidrologi dan Neraca Air

Siklus hidrologi merupakan suksesi tahapan‐tahapan yang dilalui air dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer (Seyhan, 1993). Perjalanan air di bumi membentuk siklus melalui beberapa proses, misalnya evaporasi menguapkan air dari laut, permukaan bumi, dan badan air ke atmosfer, uap air mengalami kondesasi dan kemudian jatuh menjadi presipitasi, air kemudian terakumulasi di dalam tanah dan badan air, selanjutnya dengan proses evaporasi air diuapkan kembali ke atmosfir. Secara global siklus air yang terjadi membentuk sistem tertutup, dimana selama masa sekarang hampir tidak ada penambahan jumlah volume air yang berarti di luar sistem biosfir yang ada. Volume air di bumi diperkirakan mencapai 1,4 milyar km3, dan terdistribusi sebagai air laut (97,5 %), air daratan berbentuk es (1,75 %), 0,73 % air di darat (sungai, danau, air tanah, dan sebagainya), dan 0,001 % berada sebagai uap air di udara.

Gambar 5. Siklus Hidrologi

Di dalam siklus hidrologi, air mengalami perubahan bentuk mulai dari cair, uap, kemudian menjadi cair (hujan) dan padat (salju). Berjalannya siklus hidrologi memerlukan energi panas matahari yang cukup untuk mengevaporasikan uap air dari lautan atau badanbadan air (seperti : sungai, danau, vegetasi, dan tanah lembab) ke atmosfir. Di atmosfir uap air mengalami kondensasi berupa butiran hujan atau kristal es berbentuk awan. Sampai ukuran tertentu butiran air tersebut turun ke bumi menjadi presipitasi baik dalam bentuk cair (hujan) atau padat (salju). Namun di daerah tropika basah bentuk presipitasi pada umumnya berupa hujan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya istilah hujan menggantikan istilah presipitasi.

Sebagian hujan yang jatuh sebelum mengenai tanah terlebih dulu mengenai vegetasi, bangunan, atau penutup permukaan tanah lainnya. Hujan yang diintersepsi oleh vegetasi kemudian dievaporasikan kembali ke atmosfir. Setiap vegetasi memiliki kemampuan menyimpan air (intersepsi) yang berbeda. Misalnya vegetasi hutan memiliki kapasitas intersepsi yang lebih besar dibandingkan dengan rumput. Bagian hujan lainnya yang jatuh ke bumi ada juga yang langsung masuk ke lautan atau badan‐badan air dan kembali diuapkan ke atmosfir.

Air hujan yang lolos dari intersepsi selanjutnya mencapai permukaan tanah melalui batang tumbuhan (stemflow) atau jatuh langsung (throughfall) dari bagian atas (daun). Di permukaan tanah air mengisi simpanan depresi (depression storage) dan setelah pori tanah terisi, aliran air kemudian mengikuti gaya gravitasi air terus masuk ke dalam tanah (infilitrasi). Dalam tahap ini kemampuan tanah menyerap air tergantung dari permeabilitas tanah dan vegetasi yang ada di atasnya. Di bawah permukaan tanah air terakumulasi dan membentuk aliran bawah permukaan, selanjutnya pada titik tertentu akan keluar sebagai aliran bawah permukaan (subsurface runoff) dan masuk ke dalam sungai. Apabila air terus menembus semakin dalam lapisan tanah, aliran air dapat mencapai air tanah (groundwater recharge) yang merupakan lapisan bawah tanah yang kurang permeabel. Setelah mencapai simpanan air tanah, air bergerak mengikuti permukaan air tanah yang merupakan wilayah tekanan, dan selanjutnya aliran air tanah keluar dan masuk ke dalam sungai. Laju aliran air tanah yang keluar tergantung kepada struktur geologi wilayah, permeabilitas tanah, dan lapisan bawah permukaan.

Gambar 6. Distribusi Presipitasi ( Lee, 1990)

Apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan (surface runoff) dan kemudian menuju sungai atau badan air terdekat. Aliran permukaan ini juga merupakan salah satu energi yang dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan menyebabkan erosi. Aliran permukaan semakin besar dengan semakin tingginya intensitas hujan, lereng yang semakin curam, semakin berkurangnya kekasaran permukaan tanah, dan semakin kecilnya kapasitas infiltrasi (Gambar 7).

Gambar 7. Mekanisme infiltrasi dan runoff

Komposisi aliran air di dalam sungai terdiri dari aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff), dan aliran air tanah (groundwater). Di dalam aliran air yang mengalir senantiasa membawa bahan dan mineral yang dapat larut dan tidak larut. Bahan yang dibawa aliran air kemudian diendapkan secara selektif.

Untuk menafsirkan secara kuantitatif siklus hidrologi dapat dicapai dengan persamaan umum yang dikenal dengan persamaan neraca ir, yaitu bahwa dalam selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluran total ditambah perubahan bersih dalam cadangan (Seyhan, 1993). Neraca hidrologi dari suatu wilayah dapat ditulis sebagai berikut :

Perolehan (Input) = Keluaran (output) + simpanan

P = (R ‐ G ‐ E ‐ T) + ∆S

dimana : peubah P adalah presipitasi (hujan), R adalah aliran permukaan, G adalah air tanah, E adalah evporasi, T adalah transpirasi, dan ∆S adalah perubahan simpanan. Persamaan inilah yang dikenal sebagai persamaan dasar hidrologi.

Persamaan neraca air dapat digunakan untuk menentukan besarnya nilai proses hidrologi yang tidak diketahui. Misalnya besarnya evapotranspirasi (ET) yang terjadi di suatu DAS yang besar tidak diketahui, karena peralatan untuk pengukurannya tidak ada. Namun data hujan (P), aliran permukaan (R) , air tanah (G) dan simpanan air (S) untuk DAS tersebut terukur. Dengan demikian besarnya nilai ET dapat ditentukan dengan mengurangi P dengan R, G, dan S (atau ET = P ‐ R ‐ G ‐ S).

Pengaruh Manusia terhadap Siklus Hidrologi DAS

Manusia merupakan komponen ekosistem DAS yang berpengaruh besar dan dominan terhadap keseimbangan mekanisme kerja sistem ekologs yang berlangsung, termasuk mempengaruhi daur hidrologi. Dengan teknologi yang dikuasainya ia mampu mengelola sumberdaya alam dan ekosistem di sekitarnya disesuaikan dengan keinginanna. Perubahan keseimbangan ekosistem yang tidak terkendali menjadi sumber utama munculnya degradasi sumberdaya alam yang serius, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup.

Pengaruh manusia dalam daur hidrologi dapat terjadi sepanjang aliran DAS, baik di bagian hulu, bagian tengah, dan atau di bagian hilir; dengan sifat pengaruh ada yang langsung atau tidak langsung. Tindakan manusia yang berpengaruh terhadap proses siklus hidrologi banyak menyangkut alokasi penggunaan lahan, pembuatan bangunan air di dalam DAS, pengelolaan vegetasi, pengelolaan tanah, tindakan konservasti tanah dan air, pemanfaatan air tanah, dan masuknya polutan ke dalam siklus hidrologi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tindakan manusia dan pengaruhnya terhadap siklus hidrologi.

Penggunaan lahan hutan dengan tingkat intersepsi hujan tinggi dan memiliki sifat infiltrasi tanah yang baik, akan mengurangi jumlah aliran permukaan. Namun dengan terjadinya konversi hutan menjadi lahan pertanian intensif, bahkan menjadi kawasan industri dan pemukiman, menyebabkan terganggunya proses hidrologi. Terbukanya permukaan tanah menyebabkan kapasitas intersepsi hujan menurun drastis, hujan yang jatuh langsung memukul permukaan tanah dan memecahkan matriks tanah menjadi partikel tanah yang kecil‐kecil. Sebagian dari partikel tanah menutup pori tanah dan memadatkan permukaan tanah, sehingga menurunkan kapasitas infilitasi. Dengan menurunnya kapasitas infiltrasi maka jumlah aliran permukaan meningkat dan jumlah aliran air yang menuju ke bawah permuaan untuk mengisi air tanah berkurang. Aliran permukaan menjadi energi yang dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan mengangkutnya ke tempat lain sebagai bagian dari proses erosi.

Gambar 8. Fungsi Tegakan Hutan (Microsoft,2002)

Di daerah perkotaan yang umumnya merupakan bagian hilir DAS, permukaan tanah banyak ditutupi oleh bangunan permanen yang kedap air. Akibat dari semakin luasnya lapisan kedap air di permukaan tanah, hujan yang jatuh sebagian besar tidak dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah dan menimbulkan genangan atau banjir. Pemikiran banyak orang tentang banjir di bagian hilir semata‐mata hanyalah diakibatkan oleh kiriman banjir dari bagian hulu tidak sepenuhnya benar, karena banjir yang terjadi di bagian hilir akan tetap terjadi walaupun hujan di hulu kecil jika air y hujan dan aliran permukan yang masuk ke hilir tidak mampu dialirkan ke dalam tanah atau ke badan air dengan baik. Kasus DAS Ciliwung yang berhulu di daerah Puncak Bogor dan berhilir di Jakarta menunjukkan bahwa banjir yang terjadi di Jakart tidak selamanya akibat kiriman air dari Bogor, dimana Jakarta pernah banjir pada saat Bogor tidak terjadi hujan. Penulis menduga dengan semakin banyaknya bangunan dan infrastruktur permanen dibanguan memperluas lapisan kedap air di atas prmukaan tanah, sehingga menjadi salah satu sumber masalah utama banjir di Jakarta.

Pembuatan teras dalam pengelolaan lahan dapat meningkatkan laju infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan. Vegetasi yang ditanam dan serasah yang dihasilkannya akan meningkatkan kekasaran permukaan tanah, sehingga menurunkan laju aliran permukaan dan akhirnya menurunkan energi gerusannya terhadap tanah. Penurunan laju aliran permukaan akan menurunkan jumlah erosi yang terjadi.

Pembuatan waduk atau dam untuk mengendalikan banjir dapat mengancam kelestarian biota air. Aliran air yang masuk ke dalam waduk dan membawa hara mineral akibat erosi di bagian hulu sungai, dapat meningkatkan kandungan hara dalam waduk. Peningkatan hara mineral akan memacu pertumbuhan ganggang yang menimbulkan peristiwa etrofikasi dan pada akhirnya mengancam klestarian biota perairan tersebut. Penjelasan tentang etrofikasi dibahas dalam bagian konservasi tanah dan air.

Air tanah banyak dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga dan industri. Pemanfaatan oleh industri jauh lebih besar daripada untuk rumah tangga. Eksploitasi air tanah tanpa kendali akan menurunkan muka air tanah, dan menimbulkan rongga di dalamnya. Adanya rongga kosong ini menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah (sois subsidense). Gejala tanah yang mengalami subsidensi tampak dari adanya retak‐retak pada dinding bangunan akibat berubahnya pondasi bangunan dalam tanah. Pada kondisi tanah subsiden parah, permukaan tanah anjlok diikuti dengan runtuhnya bangunan.

Evaluasi Sumberdaya Lahan

Lahan (land) dalam pengelolaan DAS berperan penting, dan hampir tidak ada aktifitas yang dilakukan tanpa dukungan lahan. Lahan secara definisi bermakna lebih luas dari tanah (soil), yaitu lingkungan fisik yang terdiri dari tanah, iklim, relief, air, vegetasi, dan benda yang ada di atasnya sepanjang berpengaruh terhadap penggunaan lahan, sedangkan tanah sendiri merupakan benda alami berdimensi tiga (panjang, lebar, dan tinggi) yang terletak di bagian atas permukaan atas kulita bumi dan memiliki sifat yang berbeda dengan lapisan di bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, kegiata organisme, bahan induk, dan relief selama masa tertentu (Arsyad, 1989).

Kebutuhan akan lahan naik sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah populasi dan pembangunan fisik selama beberapa dasawarsa terahir. Jumlah lahan yang tetap dibandingkan dengan tingginya kebutuhan menimbulkan masalah pembangunan yang menyangkut beragam aspek, mulai dari ekologis, ekonomi, sosial, budaya, bahkan stabilitas. Tingginya konversi lahan hutan menjadi non hutan, sawah menjadi kawasan industru dan pemukiman adalah contoh bagaimana posisi sumberdaya lahan selama ini yang rentan untuk dialhfungsikan. Tindakan konversi lahan dan pilihan pengelolaan lahan yang tidak tepat serta tidak memperhatikan aspek kemampuan dan kesesuaia lahan itu sendiri, sehingga mengancam kelestariannya dan mempercepat terjadinya degradasi lahan. Gejala degradasi lahan merupakan tanda kemunduran lahan untuk mampu berproduksi sesuai dengan yang diharapkan.

Pada dasarnya lahan yang ada memiliki keterbatasan‐keterbatasan yang secara alamiah akan menjadi pembatas untuk menghasilkan komoditas sesuai dengan jumlah dan mutu yang ditentukn. Hampir setiap lahan di berbagai tempat yang berbeda memiliki karakteristik yang berbeda sebagai akibat hasil interaksi antar kmponen yang mempengaruhinya berbeda pula. Perbedaan karakteristik lahan di setiap wilayah menuntut adanya perbedaan dalam melakukan manajemennya. Lahan yang tidak cocok untuk pertanian yang sangat intensif tidak akan mampu dipaksakan dikelola untuknya, dan apabila dipaksakan dengan dalih adanya dukungan teknologi tentunya akan memberikan biaya dan resiko kerusakan lingkungan ang besar.

Seringkali pilihan penggunaan lahan tidak memperhatikan potensi lahan, kesesuaian lahan, dan tindakan pengelolaan yang diperlukan untuk setiap areal lahan yang penting sebagai pegangan pengelola lahan. Dampak dari ketidaktepatan pilihan dalam penggunaan lahan menimbulkan degradasi lahan yang menyebabkan adanya lahan kritis (critical land), yaitu lahan yang sudah tidak memiliki kemampuan berproduksi sesuai dengan yang diharapkan.

Upaya pelestarian sumberdaya lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan sesuai dengan kemampuannya, dan kesesuainnya untuk komoditas tertentu. Dengan demikian perlu dilakukan kegiatan evaluasi lahan untuk mengkaji potensi lahan dan tingkat kesesuaiannya.

Daftar Isi Basyabook

Follow Me on Twitter

My Skype

My status

Ocehan @basya999

Ngobrol Yuk...

My Google Talk

Artikel Basya World