Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Cakupan, Permasalahan, dan Upaya Penerapannya
Pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai yang pernah diragukan efektivitasnya kini mulai relevan kembali seiring dengan semakin lajunya degradasi sumber daya alam di daerah aliran sungai. Perubahan situasi, kondisi, dan pergeseran paradigma dalam pengelolaan daerah aliran sungai perlu diikuti dengan teknologi pengelolaan daerah aliran sungai yang sesuai. Makalah ini menguraikan cakupan, permasalahan pengelolaan sumber daya alam, dan upaya yang perlu dilakukan supaya semua pihak dapat mengacunya. Selain penerapan teknologi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, faktor kelembagaan juga merupakan faktor penting. Untuk itu, diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan daerah aliran sungai yang disepakati.
ABSTRACT
The effectiveness of watershed management approach was questioned, but this approach is now becoming relevant because of the current problems related to the increasing of natural resource degradation in the watershed. Technology used in the natural resource management in the watershed is understood as parts of watershed management technology. The current change of situation, condition and new paradigm in watershed management need to be followed by updating watershed management technologies. This paper discusses the coverage, problems of natural resources management in watershed and efforts to be taken so that all stakeholders are able to refer to it. In the watershed management, the institutional aspect is also an important factor besides technology implementations. Contributions from each stakeholder are needed to formulate the common framework of watershed management
PENDAHULUAN
Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk atau danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir, dan kekeringan, dapat dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan sumber daya (alam dan manusia) dalam daerah aliran sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis.
Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632 ha, dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai 23.714.000 ha (Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan.
Di Indonesia, pentingnya konservasi tanah dan air pada satuan sistem DAS mulai disadari setelah terjadi banjir besar Bengawan Solo tahun 1966. Kesadaran tersebut ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan pada skala luas melalui Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001 pada tahun 1969. Sistem pengelolaan DAS untuk mendukung pelaksanaan konservasi tanah diformulasikan pada tahun 1972 melalui proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project (TA INS/72/006). Dari perjalanan waktu penyelenggaraan pengelolaan DAS, kegiatan pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam (SDA) berskala DAS berdasarkan integrasi keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis, dan struktur organisasi beserta arah kebijakan kegiatan.
Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya persoalan pengelolaan SDA serta dampak pengelolaan yang buruk. Sementara itu, pendekatan pengelolaan DAS juga mengalami perubahan seiring dengan adanya perubahan situasi, permasalahan, kondisi, dan pergeseran paradigma. Makalah ini menguraikan cakupan, permasalahan pengelolaan SDA, dan upaya yang perlu dilakukan agar semua pihak dapat mengacunya.
CAKUPAN PENGELOLAAN DAS
Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara SDA dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan SDA bagi manusia secara berkelanjutan.
Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat hubungan antara hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara itu, hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan secara terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua kepentingan.
PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
Bertitik tolak dari pemahaman bahwa pengelolaan SDA dapat dikatakan bagian dari pengelolaan DAS, maka permasalahan pengelolaan DAS yang timbul sebagian besar juga bermuatan masalah pengelolaan SDA. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam pengelolaan SDA di dalam DAS akan berimplikasi pada pengelolaan DAS.
Sumber daya hutan
Indonesia dikaruniai salah satu hutan tropis yang terluas dan terkaya keanekaragaman hayati serta potensinya di dunia. Namun demikian, laju kerusakan hutan dan pembentukan lahan kritis di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Gambaran umum kondisi kerusakan hutan menunjukkan bahwa dari 105 juta ha kawasan hutan di Indonesia, 57,7 juta ha (55%) diantaranya mengalami kerusakan. Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2001), laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha/tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha/tahun pada tahun 1990-an. Saat ini laju kehilangan hutan telah mencapai 2 juta ha/tahun. Meskipun angka-angka tersebut masih diperdebatkan kesahihannya, tetapi kecenderungan tersebut perlu diwaspadai mengingat kebutuhan kayu terus meningkat dan kebakaran hutan menjadi rutin terjadi.
Pada tahun 1998, kebutuhan kayu nasional adalah sebanyak 39,75 juta m3 dan diperkirakan meningkat menjadi 52,18 juta m3 pada tahun 2003. Sementara itu, kapasitas pemenuhan kebutuhan tersebut sampai saat ini hanya 18,14 juta m3, sehingga masih ada kekurangan 34,04 juta m3 (Goldammer et al., 1999). Situasi tersebut akan berdampak negatif apabila pemenuhan kebutuhan kayu tersebut tidak diikuti dengan teknik silvikultur dan pembalakan yang lestari (Priyono et al., 2000). Pengelolaan SDA hutan harus menerapkan teknologi yang mempraktekkan prinsip pembalakan dengan dampak minimum (Reduced Impact Logging/RIL). Selain itu, pengelolaan hutan juga menghadapi persoalan sosial berupa penjarahan dan perambahan hutan. Kondisi tersebut dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat sekitar hutan dengan pengusaha hutan, selain kondisi politik dan penegakan hukum yang tidak mendukung. Untuk itu, diperlukan teknologi dan rekayasa sosial yang memberi ruang lebih luas dan penyertaan masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Cukup banyak program yang bernuansa partisipatif dikembangkan untuk memberi solusi masalah tersebut, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa program yang berhasil adalah yang berasal dari masyarakat setempat.
Sumber daya lahan
Persoalan utama dalam pengelolaan sumber daya lahan (SDL) adalah penurunan luas lahan pertanian sebagai akibat konversi ke non-pertanian. Peningkatan konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian akan mengancam lahan hutan, karena pertanian akan merambah kawasan hutan untuk dibuka menjadi lahan pertanian. Hal tersebut disinyalir dari hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001). The World Bank (1990) memperkirakan 40.000 ha/tahun lahan pertanian dikonversi menjadi lahan non-pertanian di Indonesia. Dalam satuan DAS, konversi tersebut sebagian besar terjadi di hilir DAS.
Ditinjau dari aspek kualitas, terjadi penurunan kualitas lahan sebagai akibat erosi yang semakin meningkat. The World Bank (1990) mencatat bahwa rata-rata erosi di lahan pertanian Pulau Jawa pada tanah vulkanik sebesar 6-12 t/ha/tahun dan pada tanah kapur sebesar 20-60 t/ha/tahun. Sementara itu, laju pembentukan tanah sangat lambat (30-725 tahun/mm tanah) dan ekstensifikasi pertanian sangat mahal. Hal ini ditambah lagi dengan intensifikasi pertanian yang sudah mencapai taraf levelling off apabila tidak ditemukannya teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Mencermati hal tersebut, maka diperlukan pembatasan konversi lahan dan pengendalian erosi dengan satuan pengelolaan DAS. Program tata ruang dengan pendekatan pengelolaan DAS merupakan upaya penanganan masalah konversi lahan.
Sumber daya air
Persoalan ketersediaan air dan distribusinya selalu menjadi permasalahan umum. Ketersediaan air di musim kemarau menjadi sangat terbatas, sementara pada musim penghujan banjir terjadi di mana-mana. Penurunan tinggi muka air (TMA) di beberapa danau dan waduk mengalami penurunan akibat konsumsi dan penggunaan lahan terus meningkat.
Di Pulau Jawa, jumlah air tersedia mencapai 142,3 milyar m3/tahun dan kebutuhan air mencapai 77,8 milyar m3/tahun (Kananto et al., 1998). Angka tersebut merupakan jumlah total dalam setahun sementara pada bulan-bulan kering jelas penggunaan dan konsumsi lebih tinggi dari pasokannya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, diperlukan penekanan pada jumlah pemakaian. Mengingat bahwa sektor pertanian menggunakan 80-90% dari jumlah air tersedia maka penggunaan air di sektor pertanian perlu terus ditingkatkan.
Sementara itu adanya otonomi daerah yang memberi ruang lebih besar pada daerah dalam mengelola sumber daya air telah membawa beberapa konsekuensi pengelolaan sumber daya air dalam konteks DAS, yaitu: a. pemanfaatan air oleh suatu daerah berarti menghilangkan peluang pemanfaatan oleh daerah lain, padahal mungkin saja oportunity cost di daerah lain lebih tinggi; b. pencemaran pada daerah hulu akan berdampak pada bagian hilir; dan c. daerah hulu sering berfungsi sebagai daerah pelestari, tetapi penerima manfaatnya di daerah hilir. Selain itu daerah hulu kehilangan peluang pengembangan daerahnya untuk mendukung daerah hilir tanpa adanya kompensasi dari yang menerima manfaat.
Pengembangan teknologi pengelolaan DAS untuk sumber daya air ditujukan pada teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air (terutama irigasi) dan konsumsi air. Selain itu perlu didukung dengan pengembangan kelembagaan tradisional seperti Subak di Bali, Karuhan di Tasikmalaya Jawa Barat, atau Pasang di Sulawesi Selatan. Dalam kaitan inilah, maka penggunaan DAS sebagai unit hidrologi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pengembangan model dan teknologi pengelolaan sumber daya air dalam DAS.
Diversifikasi flora fauna Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia luar biasa tinggi, meliputi 11% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia, dan 16% spesies burung (Forest Watch Indonesia, 2001).
Degradasi lahan, deforestrasi, konversi lahan, kebakaran hutan, kekeringan, banjir, dan longsor mengakibatkan menurunnya keanekaragaman flora dan fauna. Dalam kaitannya terhadap perlindungan biodiversity, maka kehati-hatian sangat diperlukan. Hal ini mengingat topografi wilayah Indonesia yang sebagian besar bergunung dan berbukit yang memungkinkan tingginya endemi dan percepatan kepunahan.
Bertitik tolak pada pemikiran bahwa DAS merupakan representasi ekosistem, maka satuan DAS dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pengelolaan flora fauna. Ekosistem dalam DAS terdiri atas beberapa subsistem yang saling terkait, berintegrasi, berinteraksi, dan bersinergi.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada semakin meningkatnya permintaan akan kebutuhan manusia terutama pangan. Semakin intensif dan ekstensifnya penggunaan lahan pertanian membuat banyak lahan pertanian terdegradasi, sehingga timbul kesan bahwa pertanian itu eksploitatif terhadap lahan dan mengabaikan pelestarian lingkungan.
Hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001) menunjukkan bahwa pembukaan areal padi mulai mengarah ke lereng-lereng DAS hulu dan lahan marjinal. Begitu pula dengan tanaman palawija, hortikultura, tembakau, dan tanaman bernilai ekonomis tinggi lainnya. Misal, kentang di Dieng Wonosobo, Tembakau di Temanggung yang sangat menguntungkan secara ekonomi (Kurnia, 2000), meskipun menyebabkan erosi (Donie, 2002). Akibatnya, terjadi penggundulan hutan, penebangan pohon, dan pemanfaatan lahan secara intensif.
Untuk memaksimalkan keuntungan dan pendapatan, maka upaya konservasi diminimalkan oleh pengusaha dan petani. Menurut Arifin (1996) dan Cahyono (2002), petani mau mengadopsi suatu teknologi konservasi hanya jika terdapat manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut. Petani dengan pendapatan rendah, mungkin sadar bahwa teknologi konservasi akan bermanfaat dan mengurangi erosi, tetapi mereka tidak mampu untuk menerapkan teknologi konservasi tersebut. Sebaliknya bagi petani di lereng bukit yang cenderung erosi akan enggan untuk mengadopsi teknologi konservasi jika penghasilan dari usaha taninya tidak terpengaruh oleh erosi yang terjadi. Oleh karena itu, kebijakan konservasi tanah perlu diintegrasikan dengan kebijakan pangan dan pertanian secara keseluruhan.
Pertanian sering dianggap eksploitatif akibat dari pelaksanaan konservasi tanah yang belum merupakan bagian dari pengelolaan lahan maupun pengelolaan tanaman. Untuk itu, maka sistem pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan lahan dalam satuan DAS. Pertanian merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi (lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen) melalui sebuah proses alam dan menghasilkan produk pertanian. Hal ini identik dengan pengelolaan DAS yang dapat dianggap pula sebagai sebuah sistem produksi.
Pengelolaan DAS dapat dilihat sebagai sebuah sistem perencanaan produksi yang menggunakan pengelolaan input dengan input alam untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa, dengan konsekuensi efek pada sistem alam di on-site dan off site (Gambar 1). Dari sisi ekonomi, sistem pengelolaan DAS adalah suatu cara proses produksi dengan mengeluarkan biaya untuk input dan pengelolaan serta mendapat manfaat ekonomi dari output yang dihasilkan. Gambar 1 juga menunjukkan prinsip dasar analisis manfaat biaya.
Pengelolaan DAS dapat menghasilkan dampak positif berupa produksi pertanian, hasil hutan, peternakan, rekreasi, air dan sebagainya. Selain itu pengelolaan DAS dapat pula menghasilkan efek negatif berupa erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara, longsor, dan sebagainya. Penurunan pada dampak negatif pengelolaan DAS akan meningkatkan output. Apabila dampak positif yang dapat diperoleh dari pengelolaan DAS lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya, maka pengelolaan DAS tersebut memberikan manfaat bersih yang positif. Jadi, tujuan pengelolaan DAS adalah untuk memaksimumkan manfaat sosial ekonomi bersih pada kegiatan penggunaan lahan di dalam DAS.
Manfaat bersih dari pengelolaan DAS akan berkelanjutan apabila disertai dengan kegiatan konservasi tanah. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Konservasi tanah bukan berarti penundaan atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah berfungsi secara lestari. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, sehingga usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air.
Selain penerapan teknologi dalam pengelolaan SDA dan implementasi praktek konservasi, pengelolaan DAS juga mencakup kelembagaan para pihak yang terkait dalam pengelolaan SDA. Kelembagaan tidak hanya menyangkut organisasi tetapi juga aturan main antar-organisasi, kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi dan jejaring kerja antar-organisasi. Persoalan kelembagaan inilah yang sekarang menjadi lebih dominan daripada penerapan teknologi, mengingat adanya perubahan tatanan politik. Tumpang tindihnya kewenangan dan tidak adanya jejaring kerja yang baik membuat pengelolaan SDA tidak efisien bahkan cenderung bersifat eksploitatif.
Pengelolaan DAS yang baik membutuhkan adanya jejaring kerja yang baik antar institusi pengelola SDA di DAS dalam suatu kerangka kerja yang disepakati bersama. Konsensus akan kerangka kerja tersebut perlu dibangun dari seluruh pihak yang terkait. Namun pengalaman juga menunjukkan bahwa konsensus sulit diharapkan untuk dapat terjadi secara alamiah, tetapi di banyak kasus dibutuhkan suatu tekanan dari salah satu pihak yang dominan. Yang penting dalam hal ini adalah, apabila konsensus kerangka kerja telah disepakati, semua pihak perlu meng-implementasikan secara konsisten sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
PENUTUP
Teknologi pengelolaan DAS sering disederhanakan dengan praktek konservasi tanah dan air. Pengertian ini perlu dikembalikan lagi pada pendekatan pengelolaan DAS sebagai upaya pengelolaan SDA dalam suatu ekosistem. Teknologi pengelolaan DAS ke depan sudah seharusnya menjadi bagian kebutuhan masyarakat yang berada dalam suatu DAS.
Pengembangan teknologi pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan DAS yang memadukan produksi dan konservasi. Untuk itu konservasi lahan harus menjadi suatu kebutuhan (need) bagi petani dalam berusaha tani dalam bingkai DAS. Dengan penerapan teknologi dalam konteks pengelolaan SDA di DAS akan diperoleh penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Untuk itu diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan DAS yang disepakati. Keberhasilan pengelolaan DAS tidak semata-mata dipengaruhi oleh teknologi, tetapi juga oleh partisipasi masyarakat, kelembagaan, kebijakan, dan akses masyarakat dalam mengelola SDA yang ada dalam DAS.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan Pengendali Bimas. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Arifin, B. 1996. Kontroversi Program Konservasi Lahan. Jurnal Sosio Ekonomika 2 (3): 9-18.
Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor.
Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung dan Kaitannya dengan Pasar Beras Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cahyono, S.A. 2002. Konservasi tanah dalam konteks kebijakan. Info DAS 13: 14-26. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Ditjen RRL (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan). 1999. Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik dalam Angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Donie, S. 2002. Prilaku bertani masyarakat Dieng, kelestarian daerah aliran sungai dan solusinya. hlm. 121-132 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitan dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Wonosobo, 9 September 2002.
Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Kehutanan Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor.
Goldammer, J.G., W. Schindelle, B. Seibert, A.A. Hoffmann, and H. Abberger. 1999. Impacts of fire on dipterocarp forest ecosystems in South East Asia. pp. 15-39. In Proceeding 3rd International Symposium on Asia Tropical ForestManagement, Impact of Fire and Human Activities in the Tropic. Samarinda, 20-23 September 1999.
Kananto, W. Hatmoko, dan Widayati. 1998. Konsumsi dan produksi air Pulau Jawa. hlm. 82-123 dalam Prosiding Seminar Sehari Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan. Perum Perhutani-Yayasan IMTEK. Jakarta, 23 September 1998.
Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konervasi Tanah pada Lahan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi. hlm. 47-58 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan DAS. Bogor, 2-3 September 1999. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Priyono, C.N.S dan S. A. Cahyono. 2003. Status dan strategi pengembangan pengelolaan DAS di masa depan di Indonesia. Alami 8(1):1-5.
Priyono, C.N.S, Mastur dan S. Donie. 2000. DAS merupakan unit pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkeadilan. hlm. 66-79 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BTP DAS Surakarta, Pengelolaan DAS dalam Kaitannya dengan Otonomi Daerah. Surakarta, 21 November 2000.
Soenarno. 2000. Daerah Banjir di Indonesia Bertambah. Harian Kompas tanggal 24 Oktober 2000. Jakarta. 19 hlm.
The World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forest, Land and Water. A World Bank Country Report. Washington.
Posting Komentar