Wedhus Gembel, Awanpanas Merapi
Badan Geologi memiliki majalah populer yang menarik. Didalamnya banyak sekali informasi kebumian yang dikemas dengan bahasa populer. Dibawah ini salahsatu artikel menarik yang diambil dari edisi Warta Geologi 2010 yg terbit bulan Maret.
Wedhus Gembel
ditulis oleh : Oleh: SR Wittiri
Gelegar suara benturan bebatuan yang menggelinding diselingi dengan desiran semilir angin melengkapi serenade yang tengah berlangsung di lereng Merapi menciptakan suasana magis.
Percikan api dari lava pijar bagaikan kilat yang menyambar menerangi gelapnya malam melengkapi resahnya gundah hati penduduk. Itu adalah simfoni klasik yang digelar secara berkala setiap 4 atau 5 tahun sekali, di kala Merapi meletus. Gemuruh gelinding bebatuan ibarat hentakan ratusan kuda perang yang berlari kencang menerbangkan debu dan memercikkan pijaran api, apapun yang berada dihadapannya akan diterjang tanpa ampun. Gulungan ombak bermuatan debu hingga bongkah bersatu padu dalam satu adonan bersuhu tinggi dengan tekanan turbulensi yang amat dahsyat menyusuri lereng dengan kecepatan melampaui jet, bagaikan awan yang melayang rendah, itulah awan panas.
Gambaran di atas adalah perpaduan antara suasana magis dan ketidakpastian yang muncul bersamaan dalam satu kesatuan waktu di Lereng Merapi.
Gunung api yang sangat aktif ini memerlukan perhatian dan kesiapan fisik serta mental, bahkan intuisi karena selalu saja terjadi perubahan dari hari ke hari, bahkan detik demi detik, terutama dalam keadaan krisis vulkanik. Terlambat mengetahui perubahan yang ada berarti kehilangan informasi. Demikian pentingnya suatu informasi karena akan berkaitan dengan kebijakan yang diambil menyangkut kehidupan ribuan penduduk yang menggantungkan hidupnya di Lereng Merapi. Di sana ada penambang pasir batu, ada ibu dan anak yang mencari kayu bakar, ada peternak yang mencari rumput dan menggembalakan hewan, ada petani yang menyiangi ladang, terdapat banyak komunitas manusia dengan berbagai aktivitas dan kepentingan. Semuanya memerlukan perlindungan tanpa kecuali.
Awan panas, istilah yang mengerikan bagi para vulkanolog. Mengapa demikan? Karena awan panas adalah campuran material letusan berupa abu, pasir hingga bongkah dalam satu adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi karena densiti dan suhunya yang tinggi (300 – 700o C) menyusuri lereng bagaikan awan yang melayang sangat cepat (> 70 km per detik), tergantung kemiringan lereng.
Dalam tulisan ini proses terjadinya awan panas mengambil contoh kasus Letusan Merapi Tahun 2001, salah satu letusan yang berhasil diprediksi dengan baik, lebih banyak ditampilkan dengan gambar agar lebih mudah dipahami.
Wedus Gembel
Apabila berada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, puncak Gunung Merapi senantiasa terlihat dengan jelas terutama bila cuaca sedang bersahabat. Gunung api yang sangat aktif ini berdiri megah melingkupi beberapa daerah kabupaten di Daerah Istimewa Yoyakarta dan Jawa Tengah.
Secara berkala setiap 4 atau 5 tahun sekali Merapi meletus. Sesungguhnya letusannya tidak terlalu besar bila dibanding dengan letusan gunung api yang beristirahat lama, misalnya Letusan 1982 Gunung Galunggung, Jawa Barat atau Letusan 1998 Gunung Colo Sulawesi Tengah. Yang istimewa dari letusan Gunung Merapi adalah tipe letusannya yang sangat khas yang dikenal dengan Letusan Tipe Merapi (Merapi Type Eruption). Ciri khasnya adalah awan panas guguran.
Secara rinci berdasarkan vulkanologi (ilmu kegunungapian) Letusan Tipe Merapi dapat diterangkan sebagai berikut:
Menurut para ahli bahwa Merapi memiliki 2 (dua) kantong magma, masing-masing di kedalaman > 30 km dan <> 60 km. Secara fisika diterangkan bahwa benda panas yang berada di sekeliling benda yang relatif lebih dingin cenderung terdorong. Magma yang mempunyai suhu > 700oC akan bermigrasi secara vertikal melalui celah lapisan batuan dan pada akhirnya akan masuk ke dalam kantong yang ada di atasnya.
Proses tersebut berlaku pula di Merapi. Pasokan magma dari dapur hingga mencapai kantong pertama tidak pernah berhenti. Migrasi magma dari kantong pertama ke kantong kedua memerlukan waktu. Apabila kantong kedua sudah terisi penuh, maka magma akan menerobos batuan penutup yang ada di puncak. Dalam upayanya tersebut, tidak ada cara lain kecuali membongkar batuan penutup hingga terbuka peluang magma mengalir ke permukaan.
Ketika proses pembongkaran batuan penutup tersebut berlangsung, mulai terjadi guguran bebatuan. Makin lama volumenya kian membesar hingga akhirnya tercampur dengan magma yang masih segar, pertanda bahwa fluida magma sudah berhasil mencapai permukaan.
Secara kasat mata dapat disaksikan gulungan ombak bebatuan turun dari puncak mengikuti lereng. Pada malam hari dengan jelas terlihat percikan lava pijar, bahkan gulungan bola api menggelinding liar. Apabila volume guguran bebatuan ini semakin besar, maka tercipta adonan berbagai ukuran material bersatu padu dengan gas dan menghasilkan awan panas. Istilah awan dipergunakan untuk menggambarkan betapa adonan bebatuan panas tersebut tidak saja menggelinding, tetapi sebagian melayang bagaikan awan di atas puncak menerjang ke bawah. Karena kenampakannya seperti bulu domba, maka penduduk Lereng Merapi menyebutnya dengan “wedhus gembel” yang artinya bulu domba.
Kalau tekanan magma sudah melemah sementara suplai masih berlangsung, maka kejadian guguran akan berkurang dan pada akhirnya magma tidak lagi tumpah ke lereng, tetapi membeku di puncak dan membentuk tonjolan yang dikenal dengan kubah lava. Oleh karena itu di puncak Merapi banyak terdapat kubah lava yang terbentuk setiap akhir letusan. Dalam perjalanan waktu, adakalanya kubah tersebut terbongkar oleh desakan magma yang datang kemudian dan membentuk kubah yang baru.
Dari sisi vulkanologi, migrasi fluida magma tidak pernah berhenti. Apabila kantong bagian atas sudah kosong karena letusan, maka menunggu pasokan berikutnya dari bawah. Waktu pengisian
dari kantong bagian bawah hingga ke atas memerlukan waktu relatif, antara 4 hingga 5 tahun. Itulah sebabnya Gunung Merapi giat setiap periode waktu tersebut.n
Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi (JLBG).
Sumber : Warta Geologi Maret 2010