Mistik, Teologis, Idealis dan Sains
Banyak yang percaya bahwa para pendahulu kita memiliki kanuragan atau kesaktian dalam mengatasi dan meramalkan bencana. Dahulu di Jawa dan mungkin juga daerah lain ada kegiatan malam hari dibulan purnama. Para tetua sudah niteni, bahwa ketika bulan purnama sering bersamaan dengan terjadinya bencana. Secara arif mereka mengatakan bulan dimakan Buto (raksasa) perlambang bencana.
Kenapa “rasa” kepada alam itu itu hilang ?
Sekedar perkembangan jaman.
Budaya manusia serta pemikiran dan langkah serta cara pengambilan keputusan para pemikir serta pemimpin dan kita sebagai manusia (rakyat) ini juga berkembang dan berubah-ubah. Sejarahnya memang begitu, selalu ada perubahan dan perkembangan.
Kalau di jaman Babylonia dan Mesir melangkah maju dengan “misticsm” dan “sensuality”, kemudian Yunani berkembang dengan “ideas” dan “ideals”, Romawi telah berkembang menjadi kerajaan kuat didunia dengan “politics”, “military power” dan penjajahan (“conquest”). Eropa timur dan asia barat sejak 600-1100 berkembang karena theology (tetapi bukan agama ansich), sedangkan pada tahun 1200 hingga 1800 dunia mulai berkembang karena ilmu alam dan science.
Nah millenia terakhir ini, keputusan para pemimpin dunia di jalankan dan didasari dengan sains serta komunikasi mulai abad ini hingga globalisasi. Misalnya yang disebut batas negara utk Zona Ekonomi Eksklusif dibatasi oleh penelitian sains ilmiah tentang sedimentasi yang terjadi pada pinggiran paparan benua (edge of continental shelf). Tanpa adanya penelitian saintifik ini negara tidak bisa melakukan klaim perbatasannya.
Jadi ada masa-masa perkembangan dunia sejalan dengan jalannya budaya dan peradaban manusia. Peradaban dengan “rasa” itu merupakan budaya lama yang sudah tidak mudah dimengerti dengan “bahasa sains” saat ini.
Apakah itu berarti bahasa rasa adalah salah ? … bukan … bukan itu sama sekali … tetapi yang harus kita ketahui adalah bahwa kalau anda menjadi pemimpin saat ini harus mengikuti juga cara pemikiran masa kini. Tentunya dengan kearifan anda sendiri saja, maka anda akan memberikan perhatian tersendiri secara proporsional bagi mereka yang masih menggunakan cara lama.
Contoh yang terjadi dua tahun lalu diantaranya kaetika Gunung Kelud menunjukkan aktifitasnya. Walaupun mBah Ronggo penunggu Gunung ini bilang “Gunung tidak akan meletus !”, tetap saja Dr. Surono (kepala PVMBG) wektu itu dengan seksama membaca alat-alat ukurnya. Dan letusannya memang nggembos di jalan. Apakah Pak Surono salah ? Ya ngga juga, beliau tetep harus melakukan pengukuran saintifiknya. KArena beliau sebagai penasehat negara harus tetap berpikir berdasarkan kajian saintifiknya.
Kita juga ingat, Mbah Marijan ketika awan panas Gunung Merapi melanda Kaliadem ya ndak mampu mencegahnya. Dan beliau juga lari mengungsi juga, lah. Bahkan konon larinya berbarengan dengan rekan-rekan volkanologi yang ada disana.
Contoh lain adalah dalam menjalankan bisnis saat ini hampir semua perusahaan menggunakan science dan teknologi. Kalau ada yang menggunakan dukun dalam mencari minyak ya silahkan saja. Hanya terkesan lucu. Kalau satu kantor sepakat menggunakan dukun ya ngga apa-apa juga sih
Mau ikutan mana, mistik, teologis atau sains ?
Saat ini yang diakui tempat belajar formal adalah “sekolah”, bukan padepokan mirip padepokan silat …”ciaaaat !!!!“. Kalau bersekolah lulus ujian dapet ijasah. Ijazah ini sebagai bukti kepandaiannya. Kalau padepokan silat jaman dahulu ilmunya “diberi” oleh gurunya, kalausi murid sudah dipercaya akan disuwuk dianggap mampu membawa “kesaktian”-nya.
Kata Paklik mBin. Ngelmu (angel le nemu, susah didapatkan) itu perlahan-lahan punah, karena manusia menumpulkan indranya terhadap alam. Para guru tidak bisa menularkan ilmunya karena tidak banyak kandidat murid yang bisa dia pilih. dari kandidat yang dipilih juga semakin sedikit murid yang bisa menerima ngelmu sang guru.. dengan probabilitas yg semagkin kecil, ngelmu itupun menjadi langka, dan tak bisa dimengerti oleh awam.
Nah kalau pingin berkiprah dalam dunia saat ini ya mau ngga mau harus mampu berbicara dengan bahasa sains.
Sumber: "Dongeng Geologi"