Sumberdaya Gas Alam - Part 3 : C4e CBM for electric !
Menyambung tulisan sebelumnya tentang sumberdaya gas alam sebelumnya, kita tengok ulang persoalan energi yang diperlukan oleh masyarakat sedang disorot, mulai dari Listrik dengan TDLnya, gas mleduk hingga issue BBM premium yg bermasalah. Saya tertarik untuk yang listrik terlebih dahulu.
Saat ini listrik sepertinya lebih sering dipikirkan sebagai komoditi. Perhitungan ekonomi menjadi lebih menarik ketika bisnis berbicara soal listrik yang tersedia, maupun listrik yang dibutuhkan. Ini jelas menunjukkan kebijakannya sekedar berpikir supply-demand. Kondisi di Indonesia saat ini sudah jelas jumlah ketersediaan listrik tertinggal dibelakang kebutuhan. Sehingga listrik yang semestinya dapat dipikirkan sebagai infrastruktur pemicu ekonomipun pupus karena ketertinggalannya. Yang lebih terlihat saat ini adalah listrik dilihat sebagai sebuah komoditas ekonomi. Saat ini listrik lebih sering dikaji keekonomiannya lebih njlimet ketimbang bagimana penyediaannya.
Elektrifikasi yang rendah
Eletrifikasi di Indonesia ini mungkin masih sekitar 60-70% saja. Bahkan Indonesia timur dibawah 45% (Rasio Elektrifikasi Indonesia Timur Dibawah 50 Persen ). Itu baru eletrifikasinya atau ketersediannya. Namun yg lebih penting kalau ingin maju adalah meningkatkan ketersediaan listrik yang memadai untuk setiap penduduk.
Coba tengok gambar diatas dan bandingkan dengan potensi batubara (CBM) di Indonesia dibawah ini :
Sangat jelas terlihat bahwa propinsi yang elektrifikasinya terendah (dibawah 50%) adalah propinsi yang memiliki potensi tambang batubara dan tentunya potensi CBM terbesar. Daerah itu adalah Cekungan Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, serta Kalimantan Timur.
Dengan demikina sudah jelas bahwa CBM yang memiliki tekanan renah ini akan lebih efisien bila dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar gas pembangkit listrik untuk mencukupi daerahnya sendiri.
CBM – Coal Bed Methan atau dalam bahasa Indonesia disebut GMB – Gas Metan Batubara, tentusaja isinya terutama metana (rumus kimianya CH4), lebih dari 95% dari GMB ini isinya metana. Gas ini memang dapat dijadikan LNG sebagai pengisi metananya, sedangkan fraksi beratnya diambil dari minyakbumi atau gas alam lainnya. Namun proses pembuatan LNG ini jelas membutuhkan energi, artinya ada proses inefisiensi yang dengan sendirinya akan terjadi inefisiensi terhadap harga itu sendiri. Artinya harga komoditasnya naik, tapi jumlah energi yang diperoleh berkurang.
Kontrak pengusahaan CBM saat ini
Pengusahaan CBM saat ini masih menggunakan filosofi gas sebagai komoditi. Pengusahaan Gas CBM “dibungkus” dalam sebuah kontrak PSC yang memproduksi gas. Gas ini bisa dijual utk dijadikan LNG, ataupun dengan pipa ke konsumer gas maupun ke PLN. Namun juga bisa dibeli oleh IPP (Indonesian Power Producer) dimana laistriknya dijual lagi ke PLN.
Kalau diusahakan sebagai sumber listrik, kontrak diatas tentunya memperlihatkan bahwa ada dua kali pajak yang dipungut oleh negara, ada dua kali pengambilan keuntungan (profit) bagi pengusaha sebelum sampai ke konsumen (baca rakyat dan industri). Inilah alasannya mengapa listrik di Indonesia ini mahal. Juga kalau dijadikan LNG, selain tidak efisien tentusaja LNG ditujukan untuk eksport.
“Whaduh pakdhe, kalau gas dijadiin LNG berarti kita ngga kebagian lagi doonk ! Kan di Indonesia tidak punya reciever terminal LNG”
“Bener thole, sebaiknya, eh semestinya gas yang ada di Indonesia diutamakan untuk dalam negeri”.
Jadi artikel dari Inilah dot com tentang usaha pembuatan LNG dari CBM ini harus dicegah !. Artikel Inilahdotcom ini semestinya dibaca sebagai amaran bahwa Indonesia tidak memerlukan pembangunan LNG kecuali kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Kontrak yang diusulkan mencontoh kontrak geothermal.
Perusahaan eksplorasi dan produksi geothermal lebih utama menjual listrik tetapi tidak menjual steam atau tidak menjual panas. Dan memang rakyat Indonesia tidak memmerlukan steam, tetapi rakyat Indonesia memerlukan listrik. Tentusaja aturan serta perhitungan kontrak total project ini sudah dikenal baik di kalangan legislasi maupun pemerintah sendiri.
Kalau saja C4e “CBM for electric” bisa dijadikan kebijakan nasional, saya yakin CBM akan menjadi “energi” bukan sekedar komoditi. Sukur-sukur bisa menjadi infrastruktur yg menunjang pembangunan. CBM tidak harus ditangani dirjen migas saja tetapi juga menjadi program kelistrikan.
C4e (CBM for electric)
Bagaimana kira-kira keekonomiannya ?
Kemampuan membeli rakyat Indonesia membeli TDL adalah seharga Rp 700/Kwh atau kira-kira ~0.08 Usd/Kwh. Kalau industri mempu membeli Rp 1200/Kwh, tentunya gas ini dihargai lebih tinggi lagi kan ?