gravatar

Banjir dan Daya Dukung Ekologis

Bencana banjir kali ini menggenangi sedikitnya 70 persen wilayah Ibu Kota. Akibatnya, sebagian besar aktivitas produktif di kawasan yang tergenang itu pun lumpuh. Jaringan telepon dan internet terganggu. Di kawasan yang terendam banjir, sambungan listrik juga padam.

Memasuki usianya yang ke-480, selain banjir tahunan, Jakarta dililit berbagai persoalan pelik. Meski demikian, Jakarta tetap memiliki daya tarik kuat, terkait tingginya peredaran uang. Betapa tidak. Lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia ditanam di Jakarta (MeBath 2001).

Pada saat yang sama, 45 persen investasi dalam negeri juga ditempatkan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Tak heran jumlah penduduknya terus meningkat, dari 435.000 jiwa tahun 1930 menjadi 9,8 juta (1995) dan sekitar 12 juta jiwa saat ini. Diperkirakan tiap tahun ada 250.000 hingga 300.000 orang pindah ke Jakarta.

Daya dukung ekologis

Pada saat yang sama, pertumbuhan pesat ekonomi Jakarta dan sekitarnya memiliki banyak sisi gelap, terutama terkait dengan daya dukung ekologisnya. Banjir, longsor, dan berbagai musibah alam lain merupakan indikasi seriusnya persoalan.

Selain berbagai bentuk bencana itu, Jakarta dan pantai utara (pantura) Jawa terancam punah. Sepuluh tahun lalu, sebuah studi yang dilakukan South Pacific Regional Environment Programme (SPREP) meramalkan, pada pertengahan abad 21, sebagian besar daerah pertanian dan tambak udang pantura Jawa bakal terendam air akibat peningkatan muka laut setinggi 45 cm. Penyebabnya, kenaikan suhu global 2,5 derajat Celsius yang disebabkan peningkatan emisi CO2 200 persen.

Efek rumah kaca itu semakin bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi ozon sebagai perisai Bumi terhadap sinar ultraviolet itu mengakibatkan terjadinya perubahan zona cuaca. Ketika sebagian Afrika mengalami kekeringan, menanjaknya permukaan laut telah “menelan” kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk, seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Banglades, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di Tiongkok. Hal sama kini mulai mengancam pantura Jawa, termasuk Jakarta.

Di Jakarta, 80 persen penduduknya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003).

Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen (Kompas, 3/2/2007).

Masalah transportasi

Masalah pelik lain adalah transportasi. Hal ini antara lain terkait arus kendaraan bolak-balik Botabek-Jakarta. Setiap pagi sekitar 800.000 penghuni Botabek menuju Jakarta, sebelum kembali pada sore dan malam hari. Sebaliknya, sekitar 200.000 orang Jakarta bekerja di Botabek. Arus bolak-balik ini mempertajam frekuensi mobilitas dalam kota, terutama pada saat-saat pergi dan pulang kerja dengan dampak kemacetan yang parah.

Kondisi lalu lintas ini telah membawa persoalan serius bagi perekonomian secara keseluruhan. Tiadanya jaringan kereta bawah tanah atau kereta layang bisa dianggap sebagai penyebab utama parahnya lalu lintas Jabotabek. Busway yang lebih diprioritaskan ketimbang monorel, selain memperparah kemacetan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya, kendaraan pribadi tetap menjadi alternatif, termasuk tingginya jumlah kendaraan roda dua yang merupakan fenomena motorisasi negara-negara berkembang.

Di Jakarta, pertambahan kendaraan bermotor sejak tahun 1990 rata-rata 10 persen per tahun. Sementara persentase kendaraan umum dari tahun ke tahun terus menurun, dari 57 persen (1985) menjadi 50 persen (1995), dan 42 persen (2001) (Dreesbach, 2002).

Meski mempunyai jaringan yang lebih baik dibandingkan luar Jawa, kualitas jalan di Jabotabek, terbilang rendah. Padahal, hanya sekitar 0,25 persen penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 4,7 persen dari mereka hilir-mudik Botabek menggunakan kereta.

Masalah sampah

Masalah berikut adalah sampah dan pencemaran udara. Sampah yang terangkut hanya sekitar 18 persen dari 7.000-an ton sampah per hari yang dihasilkan Jakarta. Sebanyak 40 persen lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi dan sisanya (30 persen) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab banjir.

Pencemaran udara dan air di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, serta kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal peraturan, pertumbuhan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologis. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabotabek. Menjamurnya real estat dan supermal menjadikan Jakarta “hutan beton”.

Berbagai upaya dan skenario nasional perbaikan lingkungan Jakarta, seperti konsentrasi teknologi “bersih” (hi-tech-industry di Jakarta, Environment Act 1982, Spatial Use Management Act 1992 yang diperbarui dengan mengorbankan jalur hijau (2001), dan pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dinilai hanya sebagai kosmetik.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi perusakan lingkungan pun terkesan separuh hati. Ketika Prokasih (Program Kali Bersih), Prodasih (Program Laut Lestari) digencarkan, tanpa banyak diketahui publik. misalnya, DKI Jakarta membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010 yang “membenarkan” penghilangan berbagai jalur hijau kota.

Tanpa terobosan radikal dan bila kita percaya pada siklus lima tahunan, banjir bandang berikutnya akan sepenuhnya menenggelamkan Jakarta. Semua warga diharapkan bangkit. Semoga banjir dan bencana lain yang akhir-akhir ini kian sering terjadi membuka mata hati kita untuk memerangi “kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi”. Idealnya, ekonomi dan ekologi saling mendukung. Terobosan itu ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang lama terlupakan.

IVAN A HADAR Pemerhati Sosial dan Ekonomi; Menetap di Jakarta
Sumber: Kompas, 06 Februari 2007

Banjir Akibat Rusaknya DAS

Oleh Endah Sulistyowati

anjir telah melakukan “kudeta” di ibukota. Akibatnya berbagai aktivitas Jakarta dan sekitarnya menjadi lumpuh total. Pemerintah tidak berdaya dan hanya bisa mengharapkan kesabaran dan ketabahan rakyat dalam menghadapi bencana banjir. Bencana banjir selain diakibatkan oleh faktor cuaca yang ekstrem juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai).

Bangsa ini sudah dilanda collective ignorance dan kehilangan kearifan dalam mengelola DAS. Berbagai undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hanya menjadi macan kertas yang tidak pernah dijalankan secara konsisten. Penegakan hukum lingkungan yang antara lain mengenai ketentuan tentang sempadan sungai banyak dilanggar.

Wilayah Jakarta yang dibelah oleh 14 sungai sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan DAS yang konsisten dan berkelanjutan. Rencana untuk membangun megaproyek kanalisasi untuk mencegah banjir belum tentu berhasil membebaskan Jakarta dari sergapan banjir jika masalah sempadan sungai tidak ditanganai secara tuntas. Begitupun, banjir juga tidak bisa ditangani secara parsial di wilayah Jakarta saja, tetapi harus menyangkut sepanjang DAS yang melewati propinsi Jawa Barat dan Banten.

Karena kehancuran ekosistem DAS juga terjadi di daerah hulu. Hampir seluruh DAS yang ada di propinsi Jawa Barat dan Banten dalam kondisi kritis, terutama DAS Citarum, Ciliwung. dan Cisadane. Egoisme sektor kedaerahan dan buruknya koordinasi wilayah menambah parah situasi.

Untuk itulah konsep Megapolitan yang bermaksud memperluas koordinasi teknis dan integrasi kebijakan pembangunan penyangga ibu kota sebaiknya segera diwujudkan dengan titik berat kepada aspek lingkungan hidup. Ketidakberdayaan propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menghentikan laju deforestasi di wilayahnya akan berdampak lebih buruk lagi di waktu mendatang.

Sempadan Sungai

Dibutuhkan tindakan tegas tanpa pandang bulu untuk melindungi dan membenahi zona sempadan sungai. Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.

Kriteria sempadan sungai terdiri dari: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan 50 meter di kiri- kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Sesuai dengan PP No 35 Tahun 1991 tentang Sungai. (b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10 sampai dengan 15 meter. Sesuai dengan PP No 35 Tahun1991.

Selain penegakan hukum yang lemah, kerusakan sempadan sungai juga disebabkan oleh aspek land tenure (penguasaan lahan). Aspek tersebut banyak melanggar Amdal untuk kegiatan pembangunan di daerah lahan basah. Akibat lemahnya penegakan hukum terjadilah kerusakan fungsi ekologis lahan basah yang berdampak erosi genetik dan penurunan potensi.

Ada beberapa hal penting yang perlu diingat sehubungan dengan ekosistem lahan basah. Antara lain, Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Ekosistem lahan basah bersifat terbuka untuk menerima dan meneruskan setiap material (slurry ) yang terbawa sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau bahan beracun maupun energi lainnya, sehingga membahayakan.

Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan hidup setiap ekosistem darat di hulu dan sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya. Kerusakan DAS selama ini kurang ditangani secara serius. Hanya dibenahi ala kadarnya saja, seperti dalam bentuk proyek pengerukan yang menelan dana milyaran rupiah.

Proyek semacam itu kurang efektif untuk menanggulangi bencana banjir atau kekeringan jika tidak disertai dengan reklamasi total jalur sempadan sungai yang disertai dengan gerakan budaya dan terapi psikososial. Banjir merupakan hukum karma akibat lemahnya penegakan hukum lingkungan.

Zonasi Lahan Basah

Padahal, banjir di ibu kota yang sudah menjadi tradisi itu mestinya bisa ditanggulangi secara teknis geologis dan reklamasi lingkungan yang disertai dengan gerakan budaya mengelola DAS secara arif. Namun, secara telanjang rakyat sering disuguhi oleh inkonsistensi pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup.

Saat ini pemerintah boleh dibilang telah gagal menyeimbangkan keberadaan lahan basah untuk tetap terjaga dan tidak dialihkan fungsinya guna mengurangi bencana banjir dan tanah longsor. Zonasi terhadap Kepmeneg Lingkungan Hidup tentang lahan basah seharusnya diterapkan secara konsisten. Zonasi itu diterapkan berdasarkan kekuatan air sungai dan air pasang.

Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang lahan itu. Untuk itulah kewajiban pemerintah untuk mendefinisikan secara tegas dan tanpa pandang bulu tentang zonasi yang ideal dari lahan basah. Secara teori ekologis, kawasan yang harus dijaga dan dipertahankan fungsinya meliputi:

Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan akifer (tempat pengisian air bumi) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan.

Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu mere-sapkan air hujan secara besar-besaran. Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.

Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses alam. Kawasan Sekitar Danau atau Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.

Penulis adalah Pemerhati Psikososial dan Kebijakan Lingkungan Hidup

Last modified: 6/2/07

Banjir, Antara Kecolongan dan Kealpaan

Oleh: Martina Susanti

Eksploitasi yang semena-mena terhadap alam akan mengakibatkan alam “berontak” terhadap perilaku yang diterimanya.

Banjir besar siklus lima tahunan kembali melanda kawasan Jakarta. Banyak orang yang menyalahkan, penyebab (biang) bencana kali ini adalah curah hujan yang tinggi di kawasan Bogor dan Jakarta.

Kita pernah mengalami keadaan buruk itu pada Februari 2002. Dalam siklus banjir lima tahunan itu bahkan pelataran Istana Merdeka sempat tergenang pula.

Sepanjang periode lima tahun ini harus kita katakan belum ada sistem pengendalian air dan juga banjir yang lebih baik yang kita introduksi. Kita tahu, meski sudah dirancang sejak 2002, Banjir Kanal Timur hingga kini belum juga selesai.

Reaksi alam

Bencana alam seperti banjir memang tidak pernah diundang. Namun, perilaku manusia yang tidak akrab dengan lingkungan sebenarnya merupakan undangan tidak langsung terhadap bencana banjir. Demikian pula dengan setiap bencana banjir yang melanda Kota Jakarta ini, tidak pernah lepas dari ulah manusia yang seenak perut sendiri dalam memperlakukan alam lingkungan. Eksploitasi yang semena-mena terhadap alam akan mengakibatkan alam “berontak” terhadap perilaku yang diterimanya.

Jadi pada dasarnya banjir merupakan ekspresi demonstrasi alam terhadap sesuatu yang kurang wajar mengena dirinya. Banjir membawa pesan bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi terkait dengan lingkungan tempat bencana itu terjadi.

Bencana banjir sebenarnya merupakan akibat rusaknya lingkungan atau salah satu indikator tidak serasinya ekosistem di suatu daerah aliran sungai (DAS). Dengan kata lain, keseimbangan ekologis suatu DAS atau sub-DAS telah terganggu.

Sebuah DAS pada dasarnya adalah sebuah sistem sungai yang dapat dianggap ekosistem, yang di dalamnya terjadi interaksi kompleks antara komponen makhluk hidup (tumbuhan, hewan, jasad renik, dan manusia) dan lingkungan fisik di sekitarnya (radiasi matahari, angin, air, tanah, dan lain-lain). Adanya perubahan yang berlaku pada salah satu komponen di dalamnya akan menyebabkan ketidakseimbangan/gangguan terhadap sistem keseluruhan DAS.

Efek yang terjadi di antaranya menurunnya kuantitas, kualitas, dan fluktuasi ketersediaan air dari sistem DAS.

Kasus nyata rusaknya sistem DAS adalah ekstremitas fluktuasi ketersediaan air sehingga terjadi bencana kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya, terjadi bencana banjir pada saat musim hujan. Penyebab klasik rusaknya sistem DAS antara lain ulah manusia itu sendiri dalam menggarap ladang/lahan di kawasan DAS. Misalnya saja adanya perladangan yang berpindah-pindah serta perbukitan yang dikupas dan dijadikan lahan pertanian atau pertambangan.

Berubahnya situ dan danau alami tempat menampung air hujan dan dijadikan lahan permukiman juga ikut memicu terjadinya bencana banjir. Dari puluhan situ di kawasan Jabotabek, misalnya, sekarang keberadaannya bisa dihitung dengan jari. Kondisi ini menjadikan air permukaan tidak tertampung, mengalir, dan akhirnya meluap ke berbagai daerah yang sebelumnya merupakan situ atau danau alami tersebut. Pengurukan daerah-daerah rendah dan dijadikan lokasi permukiman baru juga menambah runyam keadaan.

Fenomena penggundulan hutan yang dilakukan secara liar dan membabi buta demi tuntutan perut pun menjadi biang kerok kerusakan ekosistem DAS. Kasus gundulnya (kerusakan) hutan akan mengakibatkan daya infiltrasi tanah menjadi berkurang sehingga surface run off (aliran air permukaan) menjadi besar dan pada gilirannya akan menaikkan debit sungai dengan cepat dan menyebabkan terjadinya bencana banjir. Kondisi daerah hulu (dataran tinggi) yang relatif gundul tersebut jika terguyur oleh tumpahan air hujan, akan mengalami erosi dan terjadi proses pelumpuran (sedimentasi) yang dengan cepat mengalir ke anak-anak sungai di bawahnya. Pada akhirnya air sungai menjadi keruh dan terjadi proses pendangkalan sungai. Contoh paling jelas adalah terjadi proses sedimentasi besar-besaran di beberapa waduk dan danau-danau di Indonesia.

Faktor lain yang ikut memperbesar frekuensi banjir adalah pengaruh urbanisasi dan pembuatan rumah-rumah di kawasan puncak (hulu DAS), yang notabene merupakan daerah penyangga (buffer zone) kawasan di bawahnya. Di samping itu, kawasan puncak juga merupakan daerah tangkapan air hujan (catchment area) bagi daerah di bawahnya. Inti pokoknya adalah berkurangnya lahan terbuka dan digantikan kedudukannya (tergeser) oleh lahan tertutup. Lahan tersebut umumnya tertutup oleh struktur bangunan, seperti jalan raya, tempat parkir, dan pembuatan struktur bangunan yang sebagian besar bersifat menutup daerah-daerah yang sebelumnya terbuka.

Berbagai kondisi di atas, ditambah faktor alami berupa intensitas distribusi curah hujan yang demikian besar (terbesar semenjak 1974) dan merata, akan menyebabkan terjadinya bencana banjir seperti yang melanda Jakarta dan beberapa tempat lainnya. Pertanyaan yang wajar muncul adalah apakah upaya pencegahan atau mitigasi bencana banjir perlu dibenahi sehubungan dengan fenomena ini?

Upaya mitigasi bencana banjir (pengendalian/pencegahan bencana banjir) dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap pengendalian erosi dan tahap pengendalian banjir, yang kesemuanya dilakukan pada kawasan DAS. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah membenahi ekosistem suatu DAS/sub-DAS yang telah rusak atau bahkan sudah mencapai ambang kritis. Usaha mitigasi ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Hakikat mitigasi bencana banjir adalah menekan sekecil mungkin surface run off dan memperbesar jumlah air yang diinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian, jumlah air yang disuplai tidak akan jauh berbeda antara musim hujan dan kemarau. Atau dapat dikatakan fluktuasi ketersediaan air tidak berbeda secara ekstrem antarkedua musim. Hal ini bisa dilakukan dengan kembali menata DAS-sub-DAS yang sudah kritis, bahkan rusak. Tujuan pengelolaan DAS/sub-DAS adalah mendapatkan hasil air yang optimal, baik dipandang dari aspek kuantitas, maupun kualitas. Usaha pengelolaan DAS/sub-DAS ini bisa diusahakan pemerintah dalam wujud penyelamatan hutan, tanah, dan air, yang biasa dikenal dengan program reboisasi dan penghijauan.

Daftar Isi Basyabook

Follow Me on Twitter

My Skype

My status

Ocehan @basya999

Ngobrol Yuk...

My Google Talk

Artikel Basya World