Archives

gravatar

Sumberdaya Gas Alam – Part 2 : CBM

Melanjutkan dongengan sebelumnya Sumberdaya Gas Alam – Part 1 dongengan berikut ini khusus untuk gas metan (CBM – Coal Bed Methane). Gas metan ini sedang menjadi sumberdaya alam baru non konvensional yang sudah mulai di eksplorasi di Indonesia.

Gambar dibawah ini merupakan sketsa ringkas bagaimana gas-gas itu berada.

Coal Bed Methane (CBM)

CBM saat ini sedang menjadi salah satu tumpuan harapan sebagai sumberdaya energi non konvensional. Di Idnonesia juga sudah mulai di eksplorasi dan diharapkan akan berproduksi dalam beberapa tahun kedepan.

Pematangan Batubara dan pembentukan gas metan (CBM)

Batubara adalah batuan yang kaya karbon berasal dari bahan tumbuhan (gambut) yang terakumulasi di rawa-rawa dan kemudian terkubur bersamaan dengan terjadinya proses-proses geologi yang terjadi. Dengan meningkatnya kedalaman penguburan, bahan tanaman mengalami pembatubaraan dengan kompaksi / pemampatan, melepaskan zat fluida (air, karbon dioksida, hidrokarbon ringan, termasuk metana) karena mulai berubah menjadi batubara. Dengan pembatubaraan dengan pendekatan yang sedang berlangsung, batubara menjadi semakin diperkaya dengan karbon dan terus mengusir zat terbang. Pembentukan metana dan hidrokarbon lain adalah hasil dari pematangan termal pada bara, dan mulai di sekitar “sub-bituminous A” untuk tahap tinggi mengandung bitumen “” peringkat C, dengan jumlah metan yang dihasilkan meningkat secara signifikan.

Batubara dangkal memiliki peringkat rendah dan mungkin belum menghasilkan metana dalam jumlah besar. Lebih dalam bara ini terkubur, maka akan mengalami tingkat pematangan yang lebih besar. Sehingga pembatubaraan tinggi akan menghasilkan kuantitas lebih banyak metan daripada batubara dangkal.

Beberapa metana dalam batubara mungkin telah dihasilkan oleh aktifitas bakteri metanogen. Gas biogenik dapat diproduksi di setiap saat sepanjang proses pembatubaraan dengan pendekatan jika hadir kondisi yang tepat.

Mengeluarkan gas metan pada batubara.

Gas metan tersimpan dalam batubara sebagai komponen gas yang teradsorpsi pada atau di dalam matriks batubara dan gas bebas dalam struktur micropore atau cleat lapisan batubara. Gas ini berada di tempat tempat yg menjebaknya terutama karena adanya tekanan reservoir. Apabila kita dapat mengurangi tekanan reservoir ini, maka memungkinkan gas yang terperangkap akan dapat keluar dari micropore pada batubara ini.

Untuk mengeluarkan gas metan ini tentusaja harus mengurangi tekanan dengan mengalirkan seluruh fluida yang ada terutama air. Ya, air akan sangat banyak terdapat dalam sela-sela lapisan (cleat) juga micropore (porositas mikro) pada batubara ini.

Pada proses penambangan batubara, sering juga dijumapi air ini. Seringkali air membanjiri pada lubang-lubang pertambangan batubara. Dan tentusaja diikuti oleh keluarnya gas-gas metan. Itulah sebabnya seringkali terdengar adanya ledakan tambang yang merupakan akibat terbakarnya gas metan yang terakumulasi dilubang tambang.

Untuk mengurangi resiko ledakan terowongan tambang serta memanfaatkan gas metan yang keluar inilah maka ide CBM muncul sebagai solusi untuk dua hal yang saling berhubungan.

Dalam proses pengeluaran air inilah gas akan secara bersama-sama ikut terproduksi. Jumlah air yang terproduksi semakin lama semakin berkurang sedangkan jumlah gas yang ikut terproduksi bertambah. Proses ini disebut “dewatering“. Proses dewatering ini memakan waktu yang cukup lama bahkan hingga 3 tahun. Ya selama 3 tahun inilah masa-masa menunggu yang sangat melelahkan sekaligus masa deg-degan karena menunggu sebesarapabesar kapasitas produksi sumur ini.

Berbeda dengan proses produksi minyak dan gas konvensional dimana tekanan gas cukup besar sehingga gas akan keluar dahulu yang kemudian akan diikuti oleh air.

Dibawah ini perbandingan komposisi air dan gas pada proses pengurasan air hingga proses memproduksi gas.

Tahap produksi CBM

Tentusaja pada saat awal sumur ini dipompa hanya air yang diproduksi. Setelah tekanan pori-porinya berkurang maka akan keluarlah gasnya. Proses awal inilah yang memerlukan kesabaran, karena dapat memakan waktu hingga 3 tahun, bahkan mungkin 5 tahun masih akan memproduksi air.

Walaupun memakan waktu cukup lama, saat ketika memproduksi air ini akan tetap terproduksi gas metana walau dalam jumlah yang sangat kecil. Juga gas ini tentusaja memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk mempompakan gas ke penampungan.

Perbedaan CBM dengan gas konvensional.

Gas konvensional memiliki tekanan cukup tinggi sehingga produksi awalnya sangat besar dengan sedikit atau bahkan tanpa air yang ikut terproduksi. Dengan tekanan yang seringkali sangat tinggi ini menjadikan gas ini dapat ditransfer melalui pipa tanpa perlu pompa. Gas konvensional berisi metana C1H4 dan komponen-komponen gas hidrokarbon lainnya, bahkan dapat juga mengandung gas butana atau bahkan pentana yang sering kali menghasilkan kondensat.

Gas CBM seringkali berada pada lapisan batubara yang dangkal, sehingga memiliki tekanan yang sangat rendah. Pada masa produksi awal justru hampir 100% air. Dengan tekanan rendah ini maka apabila akan mengalirkan gas ini memerlukan kompressor untuk mendorong ke penampungan gas. Isinya diatas 95% hanya metana. Gas lainnya sangat sedikit. Sehingga sering disebut drygas atau gas kering.

Struktur pembiayaan dan pengembangan CBM

Karena karakteristiknya yang jauh berbeda dengan gas konvensional ini maka metode pengembangan dan pembiayaannya juga berbeda. Jumlah sumur yang diperlukan akan meningkat terus dan dapat berjumlah ratusan bahkan ribuan sumur untuk memperoleh gas yang cukup signifikan diproduksikan. Hal ini mempengaruhi struktur pembiayaannya seperti dibawah ini.

Pembiayaan CBM (by GCA)

Selain struktur pembiayaan dan metode pengembangan yang berbeda. CBM juga memiliki perbedaan dalam ketidak pastiannya. Tentusaja setiap kegiatan eksplorasi selalu ada ketidak pastian. Namun ketidak pastian dalam pencarian (eksplorasi) dan pengembangan (eksploitasi) CBM

Ketidakpastian CBM dan gas konvensional.

Ketidakpastian volume CBM yang dapat diproduksikan sangat besar diawal. Hal ini disebabkan CBM belom lama dikembangkan dibanding gas konvensional. Belom banyaknya perkembangan teknologi dan teori tentang CBM ini menjadikan ketidakpastian yang sangat lebar. Namun selaras dengan pengalaman, maka semakin berpengalaman dan semakin lama diproduksikan CBM-pun akan semakin lebih mudah “ditebak” (predictable).

Untuk apa saja CBM ini ?

Saat ini gas-gas CBM masih diperlakukan seperti gas konvensional dalam pemanfaatannya. Bahkan bentuk kontrak pengusahaan CBM ini masih meniru dan mengacu pada kontrak gas konvensional (sistem bagihasil PSC) dengan sedikit modifikasi.

Pengusahaan CBM saat ini.

Tentusaja gas ini dapat dipakai untuk kebutuhan gas pada umumnya. Bahkan dapat juga dipakai sebagai feedgas (gas masukan bahan dasar) pada pembuatan LNG, juga dapat dipipakan untuk konsumsi rumahtangga setelah diproses, juga dapat dipakai sebagai penggerak dan bahan bakar generator listrik

Dongeng sampai disini dulu. Selanjutnya nanti akan di dongengkan bagaimana proses C4e ini …. pssst C4e ini merupakan pengembangan filosofi Gas as energy not just a commodity !

Bersambung …

Refrence :

  • Coal Bed Methane – From Resource to Reserves – by Bruce Atkin (GCA)

gravatar

Gempa Jakarta, siapa yang paling terancam ?

Sehubungan dengan pemberitaan VivaNews Siaga Skala 9 Richter ini saya ingin memberikan pendapat pribadi yang tentusaja perlu dilihat sebagai pendapat personal. Ada yang perlu diingat khususnya untuk Jakarta.

Perumahan padat dan rapat harus menjadi sasaran utama untuk mitigasi gempa. Perumahan ini harus lebih didahulukan karena risikonya jauh lebih besar ketimbang bangunan tinggi.

Ancaman gempa di Jakarta hampir selalu gempa yang berhubungan dengan aktifitas gunungapi. Ini sekali lagi dari catatan sejarah. Namun memang perlu diwaspadai patahan-patahan “tidur” yang harus diteliti dan dikaji …secara khusus masing-masing individu patahan-patahan ini.

Ada beberapa penelitian yang saya baca menyebutkan ancaman terbesar akibat dari goyangan gempa ini bukan pada bangunan atau gedung tinggi tetapi justru perumahan padat. Kalau toh gedung tingginya ada yang runtuh bisa dipastikan perumahannya sudah lebih parah. Ini sangat logis, pertama karena bangunan gedung tinggi rata-rata dibuat secara engineering lebih bagus ketimbang perumahan padat. Juga jumlah penduduk di daerah padat ini sangat tinggi kerapatannya.

Daftar 20 kota yang paling tinggi risiko gempanya menurut GeoHazards International’s study of ‘Cities Vulnerable to Earthquake’ adalah :

  1. Kathmandu, Nepal: 69.000
    Sebuah studi oleh GeoHazards Internasional memperkirakan gempa berkekuatan 6,0 akan membunuh sekitar 69.000 orang. Di kota ini pertumbuhan penduduk sekitar 1 juta, kabupaten yang paling padat penduduknya di Nepal.
  2. Istanbul, Turki: 55.000
    Sebuah gempa besar akan membunuh 55.000 diperkirakan di kota ini yg penduduknya 10 juta. Kota ini berada di persimpangan lempeng tektonik Eurasia. Gempa tahun 1999 Kocaeli menyebabkan 18.000 mati dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal.
  3. Delhi, India: 38.000
    Hampir 14 juta orang tinggal di Delhi, sebuah kawasan luas lebih dari 500 mil persegi. Sebuah gempa berkekuatan 6,0 di sini diperkirakan akan membunuh 38.000 jiwa.
  4. Quito, Ekuador: 15.000
    Sebuah pukulan gempa berkekuatan 6,0 pada Quito pegunungan yang berpenduduk 1,8 juta orang, akan membunuh diperkirakan 15.000. Sebuah gempa pada 1797 menyebabkan jumlah meninggal sebanyak 40.000. Pada bulan Oktober 2006, gempa 4,1 melanda kota tanpa menyebabkan kerusakan besar. Sebuah ancaman yang lebih besar: gunung berapi. Kota ini dikelilingi oleh gunung api dan satu ancaman besar pada satu gunung aktif .
  5. Manila, Filipina: 13.000
    Dengan 1,6 juta orang berdesakan dalam sekitar 15 mil persegi, Manila merupakan salah satu kota terpadat di dunia. Sebuah gempa 6,0 di sini akan membunuh sekitar 13.000 orang.
  6. Islambad / Rawalpindi, Pakistan: 12.500
    Sebuah gempa 6,0 di ibukota Pakistan, yang berpenduduk 1 juta orang, diperkirakan akan membunuh 12.500 orang.
  7. San Salvador, El Salvador: 11.500
    Dengan luas 220 mil persegi sebagai Ibu kota negara, berpenduduk sekitar 2,2 juta orang, telah menjadi situs berbagai gempa bumi sepanjang sejarahnya, terakhir pada tahun 2001. Sebuah gempa berkekuatan 6,0 diperkirakan akan membunuh 11.500 jiwa.
  8. Mexico City, Meksiko (dengan San Salvador): 11.500
    Luas kota ini 220-mil sebagai Ibu kota negara, berpenduduk 2,2 juta orang, telah menjadi situs berbagai gempa bumi sepanjang sejarahnya, terakhir pada tahun 2001. Sebuah gempa berkekuatan 6,0 diperkirakan akan membunuh 11.500 jiwa.
  9. Izmir, Turki (di dasi dengan San Salvador dan Mexico City): 11.500
    Kota ini berpenduduk sebesar 3,5 juta orang, terletak di persimpangan lempeng Afrika dan lempeng tektonik Eurasia, adalah kota ketiga-terbesar di negara ini. Sebuah gempa 6,0 di sini akan membunuh 11.500 orang diperkirakan.
  10. Jakarta, Indonesia: 11.000
    Kota ini memiliki populasi sebesar 18.400.000 dan diperkirakan pada tahun 2.025 akan memiliki jumlah penduduk 24.000.000. Sekitar 11.000 orang diperkirakan akan terancam jiwanya jika terkena gempa bumi 6,0 di sini.
  11. Tokyo, Jepang: 9000
    Sejumlah 9.000 orang diperkirakan akan terbunuh jika gempa 6,0 melanda kota yang berpenduduk 8 juta orang ini, Kota ini merupakan kota metropolis yang paling rentan terhadap gempa di Dunia. Gempa besar telah melanda kota beberapa kali: 1703, 1782, 1812, 1855 dan 1923. Bencana 1923, gempa berkekuatan 8,3, menewaskan lebih dari 140.000.
  12. Mumbai, India: 8.000
  13. Guayaquil, Ekuador: 4.300
  14. Bandung, Indonesia: 3600
  15. Santiago, Chili: 2.700
  16. Tashkent, Uzbekistan: 2.500
  17. Tijuana, Meksiko: 1.800
  18. Nagoya, Jepang: 900
  19. Antofagasta, Chili: 800
  20. Kobe, Jepang: 300
  21. Vancouver, Kanada: 100

Penelitian diatas dibuat tahun 2008, menunjukkan dua kota di Indonesia yaitu Bandung dan Jakarta.

Tahun 2004, Brian E. Tucker dari GeoHazards memperingatkan masalah akan menjadi lebih buruk, mengutip sebuah studi dari korban gempa diperkirakan berdasarkan pertumbuhan penduduk dan perubahan konstruksi di India utara. Satu penemuan yang menakutkan antara lain kemungkinan apabila terjadi sebuah gempa berkekuatan 8,3 di Shillong mungkin membunuh 60 kali lebih banyak orang tewas saat gempa ukuran yang sama yang melanda pada tahun 1897, meskipun penduduk wilayah ini meningkat hanya faktor dari sekitar delapan sejak saat itu. Alasan: Pergantian rumah bambu satu lantai dengan struktur beton-frame bertingkat, buruk dibangun, sering di lereng curam, telah membuat populasi yang jauh lebih rentan.

Pengamatan selintas di Jogja dan juga padang terlalu di dominasi oleh runtuhnya gedung BPKP dan STIE (Jogja) dan Hotel (Padang). Namun statistiknya justru memperlihatkan korban banyak yang mengalami musibah ini dirumah atau di lingkungannnya sendiri.

Kalau memang penelitian dan pengamatan diatas itu benar, maka sasaran utama mitigasinya bukan pada pemilik-pemilik gedung. tetapi justru masyarakat awam yang memiliki risiko lebih besar. Lagipula pemilik-pemilik gedung ini sudah akan dengan sendirinya memberikan services ke tenant-tenant (penyewa) ruangan gedungnya. Juga gedung ini dibangun dengan IMB yg relatif lebih memadai ketimbang bangunan rumah tinggal.

Sekali lagi kalau berhubungan dengan pendanaan dan alokasi dana mitigasi, saya lebih cenderung mengutamakan perbaikan atau penjelasan ke rumah milik masyarakat awam didaerah yang paling padat.

Refrensi : Forbes : The World’s Most Earthquake-Vulnerable Cities

Sumber: "Dongeng Geologi"

gravatar

Blue Energy – Mimpi masa depan yang sudah terasa di Indonesia !

Istilah Blue Energy tiba-tiba marak dalam minggu-minggu ini karena berita di koran yang cukup bombastis dengan mengatakan bahwa Blue Energy Versi Indonesia ini berbahan dasar air laut. Bahkan bahan bakar ini juga hanya dengan menggunakan mesin diesel, tanpa modifikasi lagi. Silahkan baca websitenya Pak Presiden SBY

Blue Energy atau Minyak Indonesia Bersatu adalah bahan bakar sintetik yang dibuat dari substitusi molekul Hidrogen dan Karbon tak jenuh. Proses pembuatannya sama dengan minyak fosil, namun dengan kadar emisi yang jauh lebih rendah.

:( “Pakdhe, Jangan-jangan Pak SBY kena HOAX ?”
:D “Hust !”

Yang ternyata lebih menghebohkan adalah kutipan dari Jawapos sini

Berbahan Dasar Air, Dipamerkan dalam Konferensi PBB
NGANJUK- Tak banyak yang tahu, penemu bahan bakar blue energy yang sedang dikampanyekan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata berasal dari Nganjuk. Dia adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso.

Wah mentang mentang warna biru itu warna laut terus dibilang bahwa yang dimaksud blue energy itu berbahan dasar air laut … Blaik !!!
Akhirnya istilah blue energy ini mungkin sudah menjadi sebuah kelirumologi di Indonesia ketika bersamaan dengan konferensi UNCCC di Bali tentang Global Warnming . Yang jelas mesti ada teori yang berbau keilmuan dibelakang semua ini, dan ada sesuatu ang dapat dipakai sebagai dongengan, kan ?

Apaan sih Blue energy

Tidak ada satu kalimat yang tepat yang saya temukan untuk mendefinisikan Blue Energy. Istilah Blue energy hanyalah istilah yang sering dipakai untuk menamakan sumber-sumber penghasil energi yang ramah lingkungan. Biru sering dianggap sebagai manifestasi langit biru ataupun laut biru yang jernih dan bebas polusi. Ada juga yang mengistilahkan sebagai green energy, karena dianggap energi yang ramah lingkungan.

Sumber energi yang disebut-sebut sebagai Blue Energy seringkali bersumber dari sumber energi terbarukan termasuk sumber-sumber energi non-fosil, atau lebih tepatnya non carbon based energy, artinya bahan dasarnya bukan berupa rantai karbon. Misalnya Energi Air Laut, Energi Geothermal, Energi angin, Energi Surya, dan lain-lain.

Namun sepanjang perjalanan sejarah, energi karbon masih merupakan energi termudah untuk diolah dan didapatkan, ditransport juga dimanfaatkan. Termasuk didalamnya adalah BioEnergi. Bio Energi sendiri masih merupakan Carbon Based, atau masih berupa rangkaian karbon. Sumber Bioenergi ini bisa bersumber dari BioGas, Bio ethanol, minyak jarak, minyak goreng (CPO-Crune Palm Oil) yang diubah menjadi BioDiesel dll.

Energi berbahan dasar Karbon (Carbon Based Energy)

Awalnya pembakaran karbon sebagai sumber tenaga ini dimulai dari pemanfaatan batubara atau batu arang yang tentusaja masih merupakan rangkaian karbon (C). Namun dalam proses pemanfaatan atau konversi energinya, arang batu ini dibakar begitu saja dipakai untuk memanaskan air. Pemanasan air ini yang merubah energi panas menjadi energi tekanan dan menyebabkan pergerakan piston. Dan itulah awalnya mesin uap oleh James Watt. Yang akhirnya tenaga piston uap juga dapat menghasilkan listrik seperti PLTUap (berbahan bakar batubara) .

Minyak bumi sebagai bahan bakar masa kini.

disc-prod-2006.jpg

Bahan bakar karbon itu termasuk bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) dan juga sebenarnya Bioethanol dan Biogas-pun termasuk Carbon Based Energy, maksudnya merupakan energi yang bersumber dari pembakaran rantai H-C (Hydrogen dan Carbon). Dalam pemanfaatan Carbon Based Energy ini diperlukan mesin bakar (combustible) dalam menghasilkan energi yang akan dipakai. Carbon based energy ini mulai marak ketika diketemukan minyak dengan pemboran pada akhir 1800-an. Di Indonesia pencarian minyaknya juga sudah sangat lama, bahkan sumur Talaga Said (Sumatra Utara) termasuk pengeboran kedua di dunia. dibor tahun 1885.

4-Stroke-Engine.gifPemanfaatan minyak bumi sendiri akhirnya meningkat tajam sejak tahun 1950-an (pasca PD II) karena juga didukung oleh penemuan mesin bakar yang akhirnya locking (terkunci) antara mesin motor bakar dengan bahan bakarnya. Penguncian mesin dengan bahan bakar inilah yang menyebabkan kebutuhan batubara merosot tajam dalam penggunaannya. Jadi merosotnya penggunaan batubara ini bukan akibat batubara yang berkurang cadangan maupun produksinya.

Dengan meningkatnya teknologi serta peningkatan taraf hidup manusia, kebutuhan energipun meningkat. Kebutuhan minyak bumi tentusaja meningkat sesuai dengan tingkat hidup. Semakin meningkatnya kebutuhan minyak bumi ini menyebabkan harga minyak terus menanjak. Disatu sisi akhirnya justru menuntut manusia untuk meikirkan bahan-bakar lain supaya tidak perlu mengganti mesin tetapi membuat minyak buatan (synfuel).

Synfuel (Synthetic Fuel) – Bahan Bakar Buatan

synoil_1.jpgSynfuel adalah singkatan dari Synthethic Fuel (bahan bakar sintetis) merupakan sebuah bahan bakar yang masih memanfaatkan rangkaian HC (Hidrokarbon) sebagai dasarnya. Synfuel ini masih menggunakan teknik subsitusi, artinya mengganti minyak alami dengan minyak buatan. ya buatan … prosesnya dengan dasar proses kimia sederhana yang sebenarnya sudah berusaia lebih dari ratusan tahun :) .

Ada beberapa macam cara untuk memperoleh rangkaian Hidrokarbon ini. Masing-masing dikembangkan berdasarkan proses kimiawi yang berbeda. Di alam bebas, proses ini terjadi secara alamiah dengan memanfaatkan energi panas (dari bumi) dan mereaksikan unsur-unsur yang juga sudah ada secara alami. Namun proses ini sangat khusus, sehingga tidak disembarang tempat akan dijumpai minyak dan gas bumi.

1. Synfuel dari Coal Gasification:

  • Gasification 2C + ½O2 + H2O → 2CO + H2
  • Water gas shift CO + H2O → H2 + CO2
  • F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
  • Net reaction 2C + H2O+ ½O2 → CH2 + CO2

Proses ini memerlukan 2C dan setengah O2 dan menghasilkan satu CO2 untuk setiap CH2 yang diproduksi. Artinya menggantikan minyak dengan bahan bakar sintetik dari batubara (coal synfuel) akan melipatgandakan hingga 3 kali lipat penggunaan batubara dan menghasilkan duakali lipat CO2.

(F-T atau Fischer- Tropsch reaction adalah reaksi (2n+1)H2 + nCO → CnH(2n+2) + nH2O

2. Synfuel dari Coal Gasification + H2 dari pemisahan air:

  • Gasification C + 1/4O2 + 1/2H2O → CO + 1/2H2
  • Water-splitting 3/2H2O + Energy → 3/2H2 + 3/4O2
  • F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
  • Net reaction C + H2O + Energy → CH2 + 1/2O2

Dengan penambahan hydrogen (H2) dalam proses ini telah meningkatkan proses pembuatan synfuel dari batubara. Kebutuhan karbon menjadi berkurang setengah dari sebelumnya. dan TIDAK ada CO2 yang ikut terproduksi !

Tentunya hal ini akan sangat-sangat menarik karena akan dinilai ramah lingkungan ( environment friendly).

Pertanyaan selanjutnya adalah “darimana memperoleh Hidrogen ?” Salah satunya adalah dengan proses elektrolisa. Ya dengan memanfaatkan teknologi nuklir atau melalui PLTN.

nuklir-h2.jpg :( “whaddduh, hati-hati Pakdhe nanti dianggap menyalahi hukum Islam kalau bilang PLTN :( , soale sudah difatwa haram looh pakdhe”
:D “Hust ini bukan soal agama, ini sekedar ilmu untuk bermimpi :P

nuklir-h2-efisiensi.jpgUntuk memperoleh Hidrogen ini ternyata ada bebrapa cara yang efisiensinya berbeda untuk berbagai cara pemanasan dengan cara elekstrolisa. Bisa dilihat perbedaanya seperti di sebelah ini. Sebagai catatan saja, produksi H2 saat ini yang sudah dapat diimplementasikan dengan elektrolisa temperatur rendah.
Jadi dengan demikian hanya dengan penambahan H2 dari proses water splitting sudah akan mengurangi kadar CO2 yang dihasilkan. Saat ini Amrik sudah mampu memproduksi 11 Juta ton H2 pertahun tetapi melalui proses penguapan dan pengalihan bentuk (reformation) dari metana (CH4). Dimana tentusaja proses ini masih tergantung energi fosil dan masih menghasilkan CO2 sebesar 100 juta ton pertahun. Masih belum benar-benar biru, ya ?

Menurut Schultz, dkk (baca referensi dibawah), sebuah pembangkit berkapasitas 1100MW mampu memproduksi 360 ton H2/hari dengan efisiensi sebesar 24% efficiency. Dengan demikian masih diperlukan ribuan PLTN untuk mensupport pembuatan serta transportasi pembuatan synfuel. Seandainya terdapat efisiensi perolehan H2 hingga 50% tentunya kebutuhan powerplant menjadi setengahnya.

3. Synfuel dari penangkapan CO2 (CO2 Capture) + H2 dari pemisahan air (Water-splitting):

  • Reverse Water Gas Shift CO2 + H2 → CO + H2O
  • F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
  • Water-splitting 3H2O + Energy → 3H2 + 3/2O2
  • Net reaction CO2 + H2O + Energy → CH2 + 3/2O2

Tidak ada batubara yang diperlukan sebagai sumber Carbon. membutuhkan CO2 untuk memproduksi satu bagian CH2. Dan ketika CH2 dibakar maka emisi CO2 menjadi nol karena prosesnya menggambil CO2.

CO2 dari mana ?

Bagaimana kalau sekarang CO2nya juga diambil dari udara. Loooh hiya bisa saja, kan ?. Memang benar ada sebuah metode penangkapan CO2 dari udara, alatnya juga sudah ada CO2 capturing. Salah satunya dengan memanfaatkan karbon yang dilepaskan oleh cerobong gas disebut Flue Gas.

co2caputer.jpgPowerplant (pembangkit) berbahan bakar batubara sebesar 1000MW menghasilkan 5.5 juta tons of CO2/tahun atau kira kira (14,500 tons/hari). Di amerika saja kira-kira 53% (0.38TWh) dari total pembangkit listriknya menggunakan batubara dan menghasilkan 2 billion tons of CO2/tahun ini sama saja total CO2 yang dibutuhkan untuk transportasi dalam setahun !! Jadi dengan recycle “flue gas” atau cerobong gas sudah mampu memotong 50% emisi karbon.

nangkap_co2.jpgpenangkap_co2.jpgDapat juga dipakai dengan CO2 yang ditangkap dari udara. Ya menangkap dari udara bebas. Bahkan saat ini sudah diproduksi walaupun masih untuk penelitian yaitu penangkapan CO2 dari udara seperti disebelah ini.

Jadi secara menyeluruh kalau saja proses ini semua sudah menjadi proses yang dapat dilakukan dalam sebuah pabrik minyak sinthetic akan terjadi proses daur ulang karbon yang benar-benar biru !

Nah sekarang kita tahu ada beberapa tahapan dalam menghasilkan synfuel atau BBS (bahan bakar sintetis). Pembuatannyapun berbeda-beda, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Termasuk kelebihan menghasilkan CO2 :) .

Kalau saja proses itu semua disebandingkan maka akan diketahui seberapa besar karbon yang dihasilkan. Lihat dibawah ini :

emisi-karbon-transportasi.jpg

Secara lengkap kalau keseluruhan proses ini digabungkan maka akan diperoleh sumber bahan-bakar yang mungkin akan benar-benar biru (BBB). Maksudnya mimpi manusia untuk mendapatkan bahan bakar yang benar-benar biru dalam artian akan ramah lingkungan, rendah atau bahkan tanpa emisi karbon.

synfuel-energi-biru.jpg

Tapi sekali lagi, proses inipun masih menyisakan pertanyaan. Proses ini adalah proses endoterm, yaitu proses (reaksi kimia) yang membutuhkan energi. Nah dari mana energi ini ? Kan ini reaksi kimia biasa, masih tidak mungkin menyalahi hukum fisika. Ini dongengan selanjutnya saja ya :P .

Blue Energy versi SBY !

:( “Pakdhe, jadi yang mana yang dibuat Pak SBY, dhe ?”
:D “Hust, Pak SBY ngga buat, beliau hanya mensupport sebuah usaha untuk mengurangi emisi Carbon. Dan juga beliau sangat menhargai penelitian tentang bahan-bakar sintetis ini”

sby.jpgMenurut bocoran dari dalam kubu SBY, bahwa yang sudah dilakukan Indonesia adalah tahap dimana membuat synfuel ini dengan gasifikasi. Mungkin proses antara yang pertama dan kedua diatas. Dimana Hydrogennya diperoleh dari “pemecahan air” (water splitting). Untuk 2000 liter air perlu ditambah kira2 3-8 kg carbon (tergantung air yang dipakai) untuk menghasilkan 1600 liter BBM. Karena air ini sebagai komponen mayoritas maka beberapa orang salah kaprah bilang BBM dari air. Kalau air formasi (air dari separator proses pemisahan minyak dan air di sumur minyak) yang dipakai, carbon yg ditambah lebih sedikit karena air formasi banyak mengandung karbon bebas. Kelompok ini juga sudah mencoba coba air formasi dari 2 lapangan di Sumatra dan 1 Lapangan di Jawa Timur.

:( ” eh, Pakdhe katanya ‘refinery‘ yang 5400 Bbl/hari sudah 95 % selesai, ya?. Wah bagus juga pak SBY”.

:D “Whallah koe iki mau ikutan tebar pesona !”

Yang mesti harus difikirkan adalah bagaimana emisi yg terbuang ketika memperoleh semua bahan-bahan ini termasuk ketika menghasilkan H2-nya dan juga pemanfaatannya (motor bakar). Karena walaupun pembakaran dalam mesin mobil dianggap lebih bersih, masih harus didihitungkan pula emisi yang terbuang ketika memproduksi synfuel ini.

Apapun yang telah dilakukan dengan Blue Energy ini di Indonesia (Minyak Indonesia Bersatu), tentusaja usaha ini harus diapresiasi. Karena sudah menunjukkan langkah kongkrit dalam mengatasi dan ikut serta berkiprah dalam pengembangan teknologi pembuatan minyak sintetis.

Namun harus tetap diingat dalam artikel ini hanya menunjukkan pembuatan minyak sitetis itu memungkinkan. Soal keekonomian serta bagaimana dengan mencari sumber energi primer (karena proses ini endoterm) ya silahkan baca tulisan lain dibawah ini.

Apakah yang diatas itulah yang dimaksud BE-nya si Minyak Indonesia bersatu ? Silahkan simak dibawah ini :

Dongengan terkait :

Referensi

  • K. Schultz, L. Bogart, G. Besenbruch, L. Brown, R. Buckingham, M. Campbell, B. Russ, and B. Wong, “HYDROGEN AND SYNTHETIC HYDROCARBON FUELS – A NATURAL SYNERGY*
  • Wikipedia (gambar mesin 4-tak)
Sumber: "Dongeng Geologi"

gravatar

Hydrogen Fuel Bukan Sekedar Bahan Bakar Hidrogen

Ketika mendengar “hydrogen fuel” atau bahan bakar hidrogen, seringkali di benak ini yang terisi adalah pemikiran “membakar” hydrogen sehingga mendapatkan energi siap pakai (listrik, gerak, panas). Namun perlu diketahui FUEL dalam hal ini jangan diterjemahkan “bahan bakar” yang mengandung pengertian “combustion” seperti motor bakar. Sehingga sering disebut juga FUEL CELL (bahan bakar sel)

Hydrogen fuel cell yang dipakai dalam transportasi adalah hydrogen yang dipergunakan untuk menghasilkan listrik. Kemudian listriknya dipergunakan untuk kebutuhan lain, misal penggerak motor elektrik.

Bagaimana bila hydrogen dipergunakan sebagai kompor ?

Beberapa kali kita membaca di koran atau media tentang bahanbakar air. Ya, karena hydrogen dapat dihasilkan dari elektrolisa air, sehingga terkesan murah. Walaupun prosesnya dimungkinkan, namun secara ekponomis dan keselamatan pemanfaatan hidrogen (dari eletrolisa) ini menyimpan risiko bahaya yang cukup besar.

:( “Pakdhe, kok banyak yang bilang bahan bakar air itu gimana ta Pakdhe ?”

:D “Ada beberapa jenis orang mengatakan bahan-bakar air yang sebenarnya bukan berarti airnya dibakar”

Istilah bahan bakar air ini malah mnurutku “MISLEADING” – Merancukan kalau tidak boleh disebut menyesatkan.

Saya dulu ketika berkemah tahun 1970-an sering menggunakan kompor pompa dengan minyak tanah, dan sering dicampur dengan air dengan asumsi untuk menghemat, tetapi tidak pernah meneliti lanjut. Hanya saran seorang kawan saja untuk menghemat katanya.Kompor yg digunakan ini prinsipnya hampir sama, Kalau kompor pompa, mungkin masih sering dipakai di penjual Martabak (Gleks !! jadi inget Martabak Nasional di alun-alun, makanan kesukaan di Jogja). Pemanasan (penguapan) kompor martabak menggunakan apinya sendiri, dimana pada tahap awal menggunakan minyak pada “sumbu penyalaan”. Dalam kompor ini penguapan atau pengkabutan awal digunakan pemanas filament pengganti “sumbu penyalaan”.

Yang saya duga terjadi dengan kompor ini adalah terjadinya peningkatan efisiensi pembakaran. Ya peningkatan efisiensi pemkaran akibat percampuran uap air, uap minyak tanah, serta udara. Pembakaran dalam kompor minyak tanah yang dibutuhkan untuk memasak akan berbeda dengan pembakaran minyak tanah dalam pembakaran sistem mesin penggerak. Saya setuju pendapatnya Mas Mahyudanil Buchari, air hanya berfungsi sebagai media pengkabutan. TIDAK ADA pemecahan H2O menjadi O2 dan H2 dalam kompor baru ini.

Yang sering menjadi pemikiran kita adalah keselamatan dalam pemanfaatan energi. Kita tahu banyak kebakaran disebabkan oleh minyak tanah dan listrik konslet (electric short). Bahkan akhir-akhir ini kita mendengar tabung gas meledak. Tentusaja menggunakan hydrogen sebagai bahan bakar, bahan yang dibakar, akan memiliki risiko keselamatan yang cukup tinggi. Untuk setingkat rakyat awam tentusaja sangat tidak ideal.

Kembali ke Hidrogen

Hydrogen memang merupakan bahan yang selalu menarik dipelajari tidak hanya karena mudah “terbakar” menghasilkan api atau bahkan ledakan. Tapi ingat ini juga berbeda dengan BOM ATOM hydrogen looh !

Hidrogen sebagai bahan bakar buatan

Sebagai “bahan bakar“, hydrogen tidak pernah dijumpai di alam. Hydrogen selalu berupa gas “buatan”, man made fuel. Nah pembuatannya memang bisa dilakukan dengan elektrolisa dari sumber air (H2O), atau dapat dihasilkan dari proses pemecahan Hydrocarbon (CH). Oleh sebab itu disinilah rumitnya perhitungan efisiensi energi yang akhirnya berujung pada nilai keekonomian pemanfaatan hydrogen fuel.

Untuk mengerti tentang bahan bakar serta sumber energi silahkan baca tulisan Pak Profesoor koeasoemadinata disini :

Prof. Koesoemadinata: Sumber Energi Dan Sistim Penyimpanan Energi

Efiesiensi

Nah ini sedikit berbicara tehnis

File:Fuelcell.jpg

Sumber wikipedia

Sel bahan bakar (Fuel cell) tidak beroperasi pada siklus termal. Dengan demikian, mereka tidak dibatasi hukum-hukum termodinamika seperti mesin pembakaran, seperti efisiensi siklus Carnot. Namun, juga banyak yang salah mengartikan dengan mengatakan bahwa sel bahan bakar dibebaskan dari hukum termodinamika, karena sebagian besar orang berpikir termodinamika dalam hal proses pembakaran (entalpi pembentukan). Hukum termodinamika juga berlaku untuk proses kimia (energi bebas Gibbs) seperti sel bahan bakar, namun efisiensi maksimum teoritis lebih tinggi (83% efisien 298K dalam kasus hidrogen / reaksi oksigen) dari siklus Otto efisiensi termal ( 60% untuk rasio kompresi 10 dan rasio panas spesifik 1.4).

Membandingkan batas termodinamika bukanlah prediktor yang baik pada efisiensi praktis yang dicapai. Juga, jika “penggerak mekanik” adalah tujuan, output listrik dari sel bahan bakar harus masih dikonversi menjadi daya mekanik yang tentusaja menurunkan efisiensi. Dengan mengacu pada klaim diatas, klaim yang benar adalah bahwa “keterbatasan yang ditetapkan oleh hukum kedua termodinamika pada operasi sel bahan bakar jauh lebih parah daripada pembatasan yang dikenakan pada sistem konversi energi konvensional”. Akibatnya, mereka dapat memiliki efisiensi yang sangat tinggi dalam mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik, terutama ketika mereka dioperasikan dengan kerapatan daya rendah, dan pemakaian bahan bakar hidrogen dan oksigen murni sebagai reaktan.

Harus digarisbawahi bahwa sel bahan bakar (terutama suhu tinggi) dapat digunakan sebagai sumber panas dalam mesin panas konvensional (sistem turbin gas). Dalam hal ini efisiensi yang dihasilkan menjadi sangat tinggi diperkirakan di atas 70%. Efisiensi yang cukup tinggi yang menggiurkan mengapa Hydrogen Fuel menjadi sangat penting.

Jadi perlu kita tahu istilah FUEL yang diterjemahkan sebagai bahan bakar tidak berarti pembakaran (combustion)

Sumber: "Dongeng Geologi"

gravatar

Sumberdaya Gas Alam – Part 1

Dalam setiap pembicraan energi di dunia saat ini, gas sering menjadi primadona karena issue semakin menipisnya cadangan minyak dunia. Tidak kalah serunya juga membicarakan energi di dalam negeri NKRI tercinta ini.
Sumberdaya Gas Alam, dalam hal ini gas yang dapat dibakar (Combustible gas) adalah gas hidrokarbon. Ya, seperti halnya minyakbumi, gas juga berupa hidrokarbon, merupakan rangkaian hidrogen (H) dan karbon (C). Gas memiliki rangkaian C pendek sedangkan minyak memiliki rangkaian dengan C lebih dari 5. Karena gas ini juga hidrokarbon, maka terdapatnya minyak dan gas alam ini dapat dijelaskan menjadi satu. Itulah sebabnya minyak dan gas ditangani oleh satu badan tersendiri dirjen MIGAS. Namun, apakah semua harus ditangani dengan cara yang sama, atau berbeda ? Okelah, kita mulai dari bagaimana terbentuknya gas ini dan kemudian bagaimana terdpaatnya gas ini. Nah selanjutnya dengan mengetahui karakterstik gas ini kita bisa melihat bagaimana semestinya menangani atau menggunakan gas-gas alam ini.

Terbentuknya gas alam

minyak-3.jpg Minyak dan gas alam yang dihasilkan dari sisa-sisa organisme yang diendapkan dalam batuan sedimen berbutir halus bersama dengan butir mineral batu-batu. Sebagai sumber batuan ini dimakamkan oleh sedimen diatasnya, yang bahan organik diubah menjadi minyak dan gas bumi, pertama melalui proses bakteri dan kemudian oleh suhu tinggi yang terkait dengan penguburan untuk beberapa ribu meter. Minyak dan gas bumi kemudian keluar dari batuan induk ke batuan reservoir yang berdekatan berpori. Karena minyak dan gas kurang padat daripada air yang jenuh pada pori-pori batuan reservoir, mereka bergerak ke atas melalui sistem pori sampai mereka hadapi batuan kedap air. Pada titik ini, minyak dan gas mengumpulkan dan lapangan minyak atau gas dibentuk. Selengkapnya silahkan baca ulang ceritanya disini : Proses pembentukan minyak bumi.Gas alam ini dapat terbentuk secara biogenik dan thermogenik. Gas biogenik mirip dengan BIOGAS yg dibuat oleh manusia, sedangkan alam membuat gas bio ini di rawa-rawa, sehingga sering disebut juga gas rawa. Sedangkan gas yang terbentuk akibat tekanan dan panasbumi disebut gas thermogenik. Gas thermogenik ini terbentuknya mirip dengan minyak bumi yang pernah dituliskan disini Proses pembentukan minyak bumi

BIOGENIC GAS

oil-generation.jpg Pada tempat yang sangat dangkal gas dapat terbentuk karena proses biologi, aktifitas bakteri. Tentunya anda mengenal BIOGAS bukan ?

Proses awal pembentukan gas biogenic ini sering terjadi di rawa, namun juga terbentuk secara massal sehingga membentuk konsentrasi biogas alam yang cukup besar. Gas ini dapat ditambang seperti mengambil gas alam biasa. Namun komponen utamanya methana. Sering disebut Gas Metan.Intinya, gas biogenik ini merupakan hasil metabolisme dari bakteri. Sehingga tidak akan terbentuk pada suhu tinggi.

Pada gas yang terbentuk secara thermogenik, gas ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya minyak. Semakin dalam batuan yang banyak mengandung senyawa organik ini menghasilkan minyak, dan apabila suhunya semakin tinggi akhirnya terbentuk gas.Lihat grafik diatas, oil peak (puncak keluarnya minyak) berada diatas gas peak (puncak dihasilkannya gas), Dengan demikian gas seringkali terbentuk dan terdapat pada tempat yang sangat dalam dan tekanan tinggi.Apakah semua gas itu sama cara mencari dan memproduksikannya ? Sebelum menjawab pertanyaan sederhana diatas, kita lihat dulu seperti apa keterdapatan sumberdaya gas alam ini.

Jenis-jenis terdapatnya gas alam

Gambar dibawah ini merupakan sketsa ringkas bagaimana gas-gas itu berada.

Macam ragam terdapatnya gas alam

Gas Konvensional

Keterdapatan gas alam yang selama ini sudah dikenal secara konvensional sering berasosiasi dengan minyak bumi. Gas ini akan berada pada batuan berpori. Gas ini akan mengisi pori-pori batupasir. Sama seperti terdapatnya minyak bumi yang berada pada sela-sela butiran (pori-pori) batuuan reservoir yang berupa batupasir ataupun batugamping.

Karena terbentuknya pada suhu tinggi, maka gas konvensional ini berada ditempat yang sangat dalam dan tentusaja memiliki tekanan tinggi. Masih ingat kan, kalau kita menyelam lebih dalam maka kita juga akan semakin mengalami tekanan. Demikian juga dengan pembentukan gas thermogenik ini.

Karena gas ini terkumpul pada batuan berpori, maka lebih mudah mengeluarkan gas ini. Sehingga walaupun sering dijumpai bersama-sama dengan minyak bumi, gas konvensional lebih mudah diproduksi.

Gas Serpih (Shale Gas)

The Marcellus Shale formationPada batuan yang banyak mengandung material organik penghasil minyak dan gas ini pada kedalaman yang sangat tinggi menghasilkan gas. Namun kadangkala karena tekanan sekitar batuan ini cukup besar (karena sangat dalam), gas yang berada dalam serpih ini tidak mampu keluar dari sarangnya. Gas ini terjebak dalam serpih, tentusaja serpih tidak memiliki pori-pori sebesar batupasir. Bahkan gas-gas ini terjebak dalam retakan-retakan yang berada pada serpih-serpih ini.

Namun karena dalam serpih ini juga seringkali tidak ada airnya, maka gas yang terjebak ini dapat keluar apabila dilubangi. Ya dilubangi dengan membuat sumur khusus. Sumur ini terutama sumur yang memotong batuan ini. Semakin panjang sumur ini memotong batuan serpih, semakin banyak kemungkinan gas akan dapat keluar dari sela-sela serpih, maupun dari sela-sela retakannya.

Karena sering terdapat pada posisi yang sangat dalam gas ini memiliki tekanan tinggi. Tentusaja semakin dalam suhunya semakin tinggi. Itulah sebabnya gas serpih ini tergolong gas non-konvensional. Memerlukan teknik dan teknologi khusus dalam memproduksikannya.

Tight Sand Gas (Gas pada pasir berporositas rendah)

Gas serta minyak mengalir ke atas melalui batuan yang memiliki kemampuan mengalirkan sangat baik, salah satunya batupasir. Ada kalanya batupasir ini sudah terkubur pada kedalaman yang sangat dalam, sehingga tertekan oleh beban batuan diatasnya yang menyebabkan pori-porinya sangat kecil. Karena porositasnya rendah, gas yang melewatinya tidak mampu teralirkan lagi. Seolah-olah gas itu terjebak dalam batupasir ini.

Mirip seperti pada gas serpih diatas, Tight Gas sand ini terdapat pada kedalaman yang menyebabkan tekanan serta suhu tinggi. Sehingga untuk memproduksikannya tidak dapat secara konvesional. Perlu teknik dan tenologi khusus.

Gas pada batupasir yang berporositas rendah ini termasuk gas non-konvensional.

Bersambung

Sumber: "Dongeng Geologi"

gravatar

Membuat Peta Risiko Bencana

Kita sudah punya peta zonasi gempa yang dibuat oleh 11 pakar gempa yang dimotori oleh Departemen PU. Tentusaja peta ini menjadi acuan khusus seperti yang dituliskan sebelumnya disini. Ya peta ini merupakan peta seberapa besar kemungkinan (probabilitas) goyangan gempa akan mengenai daerah ini dalam kurun waktu tertentu. Tentusaja sangat teknis dan bukan untuk masyarakat awam.

Peta yang mungkin lebih mudah dimengerti adalah peta risiko (risk map) ada juga yang mengatakan hazard map (peta bahaya). Tentusaja masih dalam konteks bahaya bencana alam atau Natural Disaster.

Dibuat sesuai kebutuhan daerahnya.

Pembuatan peta bahaya ini tidak ada yang standart, hal ini disebabkan potensi bencana masing-masing tempat tidak sama. Di Jogja peta bahaya gunungapi lebih diperlukan dibanding Jakarta yang memiliki risiko banjir lebih besar. Dengan demikian tidak mudah bagi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) tidak dapat dengan mudah membuat standart pembuatan peta ini. Skali lagi, kondisi Indonesia ini sangat beragam.

Dibawah ini salah satu diagram serta metode pembuatan peta risiko yang dikerjakan atau dibuat oleh Badan Geologi bekerja sama dengan BGR – Bundesanstalt für Geowissenschaften und Rohstoffe (BGR) di Hannover [Federal Institute for Geosciences and Natural Resources] semacam Badan Geologinya Jerman. Metode ini dipakai untuk membuat peta risiko bencana Jawa Tengah. Ya perlu saya ulangi ini peta yang penting untuk Jawa Tengah yang barangkali tidak akan sama untuk peta bahaya bencana alam di propinsi lain. Namun dengan membaca ini diharapkan kita mengerti seluk dan beluknya pembuatan serta pembacaan peta ini.

Secara grafis metode pembuatan peta ini digambarkan dibawah ini.

Intinya ada tiga tahap pembuatan peta yaitu peta dasar (Baseline data). Walaupun disebut baseline, peta ini juga merupakan hasil kajian dari analisa sebelumnya. Ya memang tidak semua daerah sudah dilengkapi dengan informasi baseline ini. Misal Earthquake Hazard Map. Tentusaja ini memerlukan pemikiran serta analisa awal, seperti misalnya dalam pembuatan peta zonasi gempa.

Peta-peta ini sebaiknya sudah tersedia di daerah masing-masing. Untuk Jawa Tengah, sekali lagi ini contoh untuk Propinsi Jawa Tengah, kebutuhan peta dasar ini meliputi Spasial data (peta administrasi, Peta tata guna lahan, Peta infra struktur), Sosio economic (Demografi, Data ekonomi), Peta bencana masa lalu. Juga diperlukan peta kerentanan terhadap bahaya (Volcanic hazard map, Landslide Hazard Map, dan Eartquake Hazard Map).

Coba perhatikan pada penyediaan peta dasar ini memerlukan Landslide Hazard Map atau peta kerentanan longsoran. Untuk pembuatan peta detil daerah yang landai misal ingin membuat peta kabupaten yang landai, peta ini mungkin tidak diperlukan, justru peta banjir lebih penting.

Pada tahap kedua adalah tahap analisa ancaman kerentanan (Vulnerability Assesment). Disini akan diperlukan analisa dari populasi atau kependudukan (misal kerapatan), dan Potensi ekonomi yang mungkin akan terganggu bila terjadi bencana. Selain itu juga diperlukan tinjauan kapasitas penunjang bila terjadi bencana. Misal jumlah puskesmas, rumah sakit, jalan raya dsb.

Pada tahap berikutnya adalah penjajian peta.
Nah ini merupakan bagaimana menjajikan peta-peta yang siap dipakai dan merupakan hasil dari evaluasi peta-peta sebelumnya. Meliputi Hazard Exposure (kemungkinan terkena bahaya), serta peta-peta tambahan misal Risiko pada populasi (penduduk), Risiko pada infra struktur serta risiko pada kerentanan gangguan potensial ekonomi.

Tidak harus seragam dan standart

Sekali lagi yang dicontohkan diatas merupakan salah satu kebutuhan peta risiko untuk daerah Jawa Tengah. Walaupun metode ini dapat dipakai sebagai acuan awal berpikir, namun kejelian serta pengenalan kondisi kebumian lokal (geologi, geofisika dan geografi lokal) perlu dipertimbangkan lebih utama. Keberagaman Indonesia ini perlu dimengerti supaya pendekatan dan kearifan lokal menjadi hal utama dalam melakukan mitigasi kebencanaan.

Contoh peta-peta yang diperlukan serta hasil peta dalam penyajian peta risiko bencana.

Peta-peta diatas dibuat oleh BGR dan BG dalam kerjasamanya membuat metode pemetaan bencana untuk Provinsi Jawa Tengah.

Sumber: "Dongeng Geologi"

Daftar Isi Basyabook

Follow Me on Twitter

My Skype

My status

Ocehan @basya999

Ngobrol Yuk...

My Google Talk

Artikel Basya World